(tulisan ini dihasilkan melalui dialog dengan ChatGPT Versi 4.0 berbayar)
Sumpah Palapa merupakan salah satu sumpah paling terkenal dalam sejarah Nusantara yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Berikut penjelasan mengenai alasan munculnya Sumpah Palapa dan lokasi di mana sumpah tersebut diucapkan:
1. Alasan Kemunculan Sumpah Palapa
Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada karena dorongan kuat untuk mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Beberapa alasan utama di balik sumpah ini:
Ambisi Persatuan Wilayah Nusantara: Gajah Mada bercita-cita menyatukan seluruh wilayah kepulauan Nusantara agar tidak terpecah-pecah oleh kerajaan-kerajaan kecil yang berperang satu sama lain.
Kestabilan Politik dan Keamanan: Dengan menyatukan wilayah Nusantara, diharapkan stabilitas politik dan keamanan tercipta, serta mengurangi potensi konflik antarkerajaan.
Kemajuan Ekonomi dan Perdagangan: Nusantara yang bersatu akan memperkuat kontrol atas jalur perdagangan maritim yang menjadi sumber ekonomi penting bagi Majapahit.
Loyalitas dan Tanggung Jawab: Sebagai Mahapatih, Gajah Mada menunjukkan komitmen kuat untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi kejayaan Majapahit.
2. Tempat Sumpah Palapa Diumumkan
Menurut kitab Pararaton, Sumpah Palapa diucapkan Gajah Mada pada tahun 1336 M saat pelantikannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi di Majapahit, tepatnya dalam sebuah sidang kerajaan yang dihadiri oleh Raja Tribhuwana Tunggadewi dan pejabat kerajaan lainnya.
Namun, secara spesifik, lokasi pastinya belum dapat dipastikan. Namun, kemungkinan besar sumpah tersebut dilakukan di pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit yang berada di Trowulan, Jawa Timur.
Isi Sumpah Palapa (Versi Kitab Pararaton)
> "Sira Gajah Mada, patih amangkubhumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, ingsun amukti palapa."
Artinya: Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati kesenangan (palapa) sebelum berhasil menundukkan seluruh Nusantara, termasuk Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru (Sumatera), Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura).
Makna Sumpah Palapa
Palapa: Simbol segala bentuk kenikmatan pribadi. Gajah Mada menegaskan bahwa ia akan mengesampingkan semua bentuk kenyamanan sebelum cita-citanya tercapai.
Nusantara: Wilayah yang disebut dalam sumpah mencakup wilayah penting di Asia Tenggara, memperkuat cita-cita persatuan wilayah maritim.
Kesimpulan
Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada dalam upacara pengangkatan dirinya sebagai Mahapatih Amangkubhumi sekitar tahun 1336 M di Trowulan, Jawa Timur. Sumpah tersebut mencerminkan ambisi politik untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit dan mewujudkan stabilitas serta kemajuan ekonomi. Sumpah Palapa akhirnya menjadi fondasi kuat berdirinya sebuah wilayah kekuasaan besar yang dikenal dengan "Nusantara."
                                                        oo00oo
Kerajaan Haru /Aru  dan Suku KaroÂ
Kerajaan Haru, yang terletak di Sumatera Utara, merupakan salah satu kerajaan yang disebut dalam Sumpah Palapa oleh Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Namun, informasi mengenai nama raja yang memerintah Kerajaan Haru pada periode tersebut sangat terbatas. Sumber-sumber sejarah yang ada tidak secara spesifik mencatat nama raja Haru pada abad ke-14.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Haru mulai muncul sebagai kekuatan signifikan di Sumatera sekitar abad ke-13 hingga ke-16. Beberapa sumber menyebutkan bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, dan kerajaan ini memainkan peran penting dalam perdagangan maritim di Selat Malaka.
Meskipun demikian, detail mengenai struktur pemerintahan dan nama-nama penguasa Kerajaan Haru pada abad ke-14 tidak terdokumentasi dengan baik dalam sumber-sumber sejarah yang tersedia. Oleh karena itu, hingga saat ini, nama raja Kerajaan Haru pada abad ke-14 belum dapat dipastikan.
Kerajaan Haru, juga dikenal sebagai Kerajaan Aru, merupakan salah satu kerajaan penting yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara, Indonesia, dari abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Berikut adalah penjelasan mengenai Kerajaan Haru berdasarkan sumber akademis yang memiliki kredibilitas tinggi:
Asal Usul dan Penduduk
Penduduk Kerajaan Haru diyakini merupakan keturunan suku Karo yang mendiami pedalaman Sumatera Utara. Nama "Haru" atau "Aru" dianggap berkaitan dengan kata "Karo". Menurut catatan sejarah, masyarakat Karo menyebut bahwa Aru berasal dari kata Karo, dan kerajaan ini didirikan oleh klen (klan) Kembaren. Dalam Pustaka Kembaren (1927), marga Kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah Minangkabau.
Letak Geografis dan Ibu Kota
Ibu kota Kerajaan Haru terletak di dekat wilayah yang kini menjadi Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pusat kerajaan ini berada di Kota Rentang, Hamparan Perak, Deli Serdang. Penemuan arkeologis di situs Kota Cina dan Benteng Putri Hijau di Deli Tua mendukung keberadaan kerajaan ini di wilayah tersebut.
Kepercayaan dan Agama
Penduduk asli Kerajaan Haru awalnya menganut kepercayaan animisme yang disebut Pemena, serta Hinduisme. Pada abad ke-13, ajaran Islam mulai masuk dan dipraktikkan bersama dengan kepercayaan asli setempat. Beberapa sumber menyebut bahwa Islam masuk ke Kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-12, dan kemungkinan Haru lebih dahulu memeluk Islam dibandingkan dengan Pasai.
Kekuatan Maritim dan Perdagangan
Pada masa jayanya, Kerajaan Haru merupakan kekuatan maritim yang signifikan dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat Malaka. Menurut catatan Tome Pires dalam "Suma Oriental", Aru adalah kerajaan terbesar di Sumatera dengan populasi yang banyak dan armada kapal yang kuat, meskipun tidak kaya karena perdagangan. Kerajaan ini memiliki banyak kapal cepat dan terkenal karena kekuatan militernya.
Hubungan dengan Kerajaan Lain
Kerajaan Haru disebut dalam beberapa sumber sejarah, termasuk "Pararaton" dan "Negarakertagama", sebagai salah satu wilayah yang menjadi target ekspansi Kerajaan Majapahit. Dalam "Sumpah Palapa" yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada, Haru disebut sebagai salah satu daerah yang akan ditaklukkan untuk menyatukan Nusantara. Selain itu, dalam "Sulalatus Salatin" (Sejarah Melayu), Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.
Kemunduran dan Akhir Kerajaan
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Haru mulai mengalami kemunduran karena kalah pamor dengan pelabuhan-pelabuhan baru di ujung timur Sumatera. Tekanan dari Kesultanan Aceh semakin melemahkan posisi Haru. Pada tahun 1539, Sultan Alauddin dari Aceh mengirim ekspedisi militer besar untuk menaklukkan Aru, dan akhirnya kerajaan ini menyatakan tunduk kepada Aceh. Setelah penaklukan tersebut, pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Haru berangsur-angsur hilang.
Sumber Referensi
Â
- Untuk informasi lebih lanjut mengenai Kerajaan Haru, berikut beberapa sumber akademis yang dapat dijadikan referensi: Â Supriatna, Eman. "Kerajaan Aru/Haru dalam Lintasan Sejarah Islam di Nusantara." Jurnal Pendidikan Mutiara, vol. 7, no. 1, Maret 2022.Â
- Perret, Daniel. "The Haru Kingdom in Sumatra Crosses the Ages." Academia.edu.Â
- Agustono, Budi, dan Muhammad Takari. "Adat Perkawinan di Kerajaan Haru Bahagian Utara Sumatera Abad Kedua Belas." Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Informasi di atas memberikan gambaran komprehensif mengenai Kerajaan Haru berdasarkan sumber-sumber akademis yang diakui kredibilitasnya oleh para sejarawan Indonesia dan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H