Penelitian Ini dibimbing oleh dosen Ibu Desi Nurwidawati, S.Si., M.Sc.
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Kemarahan adalah emosi yang sering kali dianggap negatif, namun sebenarnya merupakan respons adaptif untuk melindungi individu dari ancaman atau ketidakadilan (Potegal & Novaco, 2010). Ketika dikelola dengan baik, kemarahan dapat menjadi kekuatan untuk menyelesaikan masalah atau mendorong perubahan sosial. Namun, kemarahan yang tidak terkendali dapat memicu stres, gangguan mental, dan konflik interpersonal.
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010 (Dangmei & Singh, 2016), menghadapi tantangan unik dalam mengelola emosi mereka. Studi menunjukkan bahwa generasi ini rentan terhadap gangguan kesehatan mental, termasuk kecemasan dan stres kronis (Twenge et al., 2017). Dalam konteks ini, kemampuan untuk mengelola kemarahan menjadi penting demi kesejahteraan emosional mereka.
Teori Dasar
Menurut Charles D. Spielberger (1988), kemarahan terdiri atas dua dimensi. Pertama adalah state anger yang berarti kemarahan sementara akibat situasi tertentu. Kemudian, trait anger yang berarti kecenderungan stabil merasakan amarah di berbagai situasi.Â
Ekspresi kemarahan juga terbagi menjadi:
Anger-Out: Melampiaskan kemarahan secara langsung dan sering kali agresif.
Anger-In: Menahan kemarahan yang dapat menyebabkan stres internal.
Kedua pola ini memengaruhi kesejahteraan emosional, dengan anger-out cenderung memicu konflik, sementara anger-in meningkatkan risiko gangguan psikosomatis (Novaco, 2010).