Mohon tunggu...
Khairunnisa Azzahra
Khairunnisa Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa aktif Universitas Padjadjaran

bio diisi jika sudah ada tulisan yang dimuat di kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

IKN dan Pengusiran Masyarakat Adat Suku Paser dan Suku Balik

21 Juni 2024   12:27 Diperbarui: 21 Juni 2024   19:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sempat ada pembicaraan via pesan singkat antara penulis dengan seorang teman penulis yang kebetulan sedang magang di Pikiran Rakyat Media Network yang berkantor di Bandung. Penulis gelagapan ketika harus mengambil tema apa untuk dibahas pada tugas akhir mata kuliah Penulisan Populernya. Penulis pun mempertanyakan kepada teman penulis mengenai hal apa yang sedang hangat dan menjadi pembicaraan di kantor beritanya. Teman penulis pun kemudian memberikan beberapa highlight berita yang sedang hangat belakangan ini. Saat itu, penulis langsung tertarik dengan problematika pembangunan IKN yang kabarnya menyingkirkan masyarakat adat di wilayah tempat didirikannya IKN Nusantara menggantikan DKI Jakarta yang sebelumnya merupakan ibukota Indonesia.

IKN? Perpindahan ibukota negara? Ide siapa? Apa tujuannya? Itu adalah beberapa kalimat pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut penulis yang awam ini. Dari sekian banyak pemberitaan yang muncul di televisi maupun di platform media online di internet, polemik pembangunan IKN ini terus-menerus bergulir. Sejak diresmikannya pembangunan IKN tahun 2019 lalu oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang merupakan presiden ke-7 Indonesia, begitu banyak pro kontra yang muncul terutama dari kalangan masyarakat setempat. IKN sendiri merupakan singkatan dari Ibu Kota Negara, sebutan untuk sebuah wilayah baru yang digadang-gadang akan menjadi magnet ekonomi baru di Indonesia. Namun benarkah pembangunan yang sudah berjalan sejak 2022 lalu itu sudah sesuai dengan rencana dan konsep yang ditentukan sebelumnya? ataukah justru semuanya hanya omon-omon dan buang-buang uang saja?

IKN merupakan megaproyek negara dengan konsep Green City yang mana dalam pemeliharaannya di masa mendatang akan penuh dengan pengawasan. Hanya sekitar 30% saja lahan yang diperbolehkan untuk pembangunan, dan sisanya akan tetap berupa hutan, juga kendaraan akan ditetapkan untuk mesin bertenaga listrik saja guna mengurangi polusi udara. Pembangunan IKN diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk benar-benar selesai dan rampung diselesaikan. Pembangunan ini juga menggunakan anggaran sebesar Rp499 T. T? Triliun? Benar, triliun. Tapi yang pasti, Presiden Jokowi dengan jelas mengatakan bahwa mengatakan bahwa pembagunan kawasan inti di IKN itu akan berasal dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara (APBN). Ambisi Presiden Jokowi (begitu cara stasiun berita menyebut megaproyek ini) dalam pembangunan IKN ini memberikan dua pandangan antara akan menjadi megaproyek terhebat karena anggaran sekian ratus triliun itu termasuk anggaran negara terbesar di dunia, atau menjadi megaproyek yang mangkrak dan menjadi cara membuang-buang uang yang paling flop yang pernah ada.

Mari kesampingkan dahulu mengenai rencana serta anggaran pembangunannya yang beratus-ratus triliun itu, dan lihat dari sisi masyarakat yang tanahnya dijadikan sebagai lahan pembangunan IKN tersebut. Kabarnya, wilayah tersebut nantinya kan dinamakan Nusantara. Nusantara sendiri dipilih dari 80 nama lainnya karena sudah menjadi nama wilayah Indonesia ini bahkan dari saat sebelum pemerintahan kompeni dan kolonial Belanda dimulai. Konstruksi IKN dimulai di dua kecamatan yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Dua kecamatan ini adalah Samboja dan Sepaku. Di daerah tersebut banyak sekali masyarakat adat Suku Paser / Suku Dayak Paser serta masyarakat adat Suku Balik / Suku Paser Balik. Kedua suku tersebut merupakan suku asli di daerah Kecamatan Sepaku. Awalnya kabar mengenai perpindahan Ibukota ke Kalimantan ini disambut baik oleh setiap lapisan masyarakat di Kalimantan. Namun, siapa sangka bahwa perpindahan ibukota dan pembangunan dadakan ini justru mengancam keberadaan suku adat di sana. Terlebih lagi ketika Februari lalu tersebar berita mengenai "surat peringatan" yang diberikan Otorita Ibu Kota Negara (OIKN) perihal pemerataan rumah-rumah penduduk khususnya di Kecamatan Sepaku. Pertanyaan "mengapa" terus menghantui masyarakat di Kecamatan Sepaku yang dikirimi surat dari OIKN tersebut. Saat IKN resmi dibangun 2022 lalu, keinginan masyarakat Suku Paser di Kecamatan Sepaku yang disampaikan oleh pemimpin sukunya ketika diwawancara oleh salah satu stasiun berita adalah pemerintah memberikan semacam batas dan pemberian hak yang sah secara hukum untuk lahan yang sudah dipergunakan untuk bertani oleh masyarakat sejak dulu. Mereka juga tidak mau jika harus direlokasi dan meninggalkan warisan rumah panggung yang merupakan ciri khas Suku Paser itu sendiri. Mereka ingin generasi muda masyarakat adat -khususnya- Suku Paser dan Suku Balik yang paling terdampak pembangunan IKN tersebut seharusnya dibina bukannya dibinasakan. Karena dengan adanya surat peringatan dari OIKN itu, mereka merasa lambat laun masyarakat adat asli yang telah lama tinggal di sana akan tersingkirkan.

megabuild.co.id
megabuild.co.id

Kabar turunnya surat peringatan dari OIKN tersebut rupanya bukan hanya kabar burung semata. Di internet banyak bukti bertebaran mengenai kebenaran adanya surat peringatan dari pemerintah kepada masyarakat untuk meninggalkan rumahnya. Memang, beberapa di antaranya sudah mendapatkan ganti rugi, dan itu hanya beberapa. Sisanya hanya harus menunggu ketidakpastian yang akan mereka dapati di kemudian hari. Entah mendapat ganti rugi pula, namun dengan nominal yang jauh lebih kecil, atau justru akan terkena dampak penggusuran paksa dengan pemerintah yang angkat tangan tidak memberikan tanggung jawabnya. Tapi bukan hanya itu yang menjadi persoalan. Ini soal suku adat mereka yang terancam dihilangkan dengan adanya pembangunan IKN ini. OIKN seakan memaksa masyarakat sekitar pembangunan IKN untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka sendiri. Apalagi itu namanya kalau bukan penyingkiran suku adat? Jika pun masyarakat yang sejatinya lemah dalam hukum, lemah dalam hal pembelaan, lalu mereka terpaksa harus menyingkir dari tanah milik mereka sendiri, lantas apakah mereka juga harus meninggalkan makam-makam leluhurnya, keluarganya, tanah kelahirannya?

Memangnya kenapa kalau masyarakat adat di sana direlokasi? toh itu juga untuk tujuan pembangunan ibukota negara yang baru kan? Sempat terbersit pertanyaan bodoh seperti itu dalam pikiran penulis saat sebelum membaca artikel artikel berita mengenai 'relokasi' masyarakat adat di sana. Relokasi, sepertinya pengusiran halus lebih cocok untuk dijadikan istilah pemerataan yang sedang berjalan di sana. Bagaimana tidak, masyarakat dipaksa menyerahkan tanah dan bangunannya untuk melancarkan pembangunan IKN dengan uang ganti rugi yang -kata masyarakat yang sudah ditawari uang kompensasi- diberi uang yasudah tanpa diberi jalan untuk relokasinya. Menurut beberapa masyarakat itu juga baiknya pemerintah jika ingin merelokasi, ya relokasi dengan benar, jangan hanya diberi uang kompensasi lalu angkat tangan. Tapi memang betul, kalaupun benar Otorita IKN akan menjaga kelestarian dan keberlangsungan masyarakat adat serta kearifan lokal, harusnya masyarakat tersebut bukan diusir dan diberi kompensasi begitu, dong. Bahkan sebelum itu ada isu yang mengaitkan bahwa "surat peringatan" yang saat itu diberikan oleh OIKN kepada masyarakat setempat tidak ada bedanya dengan praktek yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda saat mendatangi negeri ini empat abad yang lalu. Lho, memang ada hubungannya? Tentu saja! Pola yang digunakan pemerintah kemarin saat menurunkan surat itu sama dengan pola perampasan tanah yang digunakan oleh koloni Belanda dulu. 'siapapun yang tidak bisa menunjukkan bukti bahwa tanah dan bangunan yang ditempati tersebut benar miliknya, maka tanah itu milik pemerintah'(?) Bagaimana bisa pemerintah memonopoli tanah rakyatnya sendiri?

Setelah membaca banyak artikel yang memberitakan isu ini, akhirnya terbuka lah pikiran penulis bahwa, wajar saja jika masyarakat adat di sana memprotes pembangunan yang bukannya memajukan rakyat setempat, tapi justru menyengsarakan rakyat? kalau kata seorang warga di sana yang sempat diwawancara oleh salah satu stasiun berita online 'ya memang kota itu dipindah ke sini, tapi kami di sini tetap tidak bisa melihatnya'. Interpretasi penulis mengenai kalimat itu adalah memang benar ibu kota itu dipindahkan dan bertujuan untuk pemerataan ekonomi dan tujuan-tujuan baik lainnya, tetapi untuk apa pemerataan itu dilakukan jika masyarakat yang terbelakangnya justru tetap dijauhkan. Lagi pula dalam penetapan desain kota itu sendiri, masyarakat atau paling tidak orang orang terpandang di wilayah setempat itu diikutsertakan dalam perundingan. Tapi apa buktinya? pemimpin masyarakat setempat pun jangankan diikutsertakan musyawarah, diberikan sosialisasi mengenai 'relokasi' saja tidak.

Lantas kalau sudah begini, masyarakat adat sudah terusir dan sisanya kecewa dengan keputusan pemerintah, kira-kira bagaimana solusi yang bisa disarankan untuk membereskannya? Pemerintah juga tidak mungkin membatalkan pembangunan di sana. Tapi apakah tindakan pemerintah akan tetap seperti demikian itu? Benar apa yang dikatakan oleh masyarakat adat di sana sendiri, mereka harusnya dibina dan dilestarikan budayanya, bukan malah diusir dan diminta meninggalkan tanah moyangnya juga sumber kehidupannya.

- Khairunnisa Azzahra -

Jatinangor, 21 Juni 2024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun