Namun, siapa sangka bahwa perpindahan ibukota dan pembangunan dadakan ini justru mengancam keberadaan suku adat di sana. Terlebih lagi ketika Februari lalu tersebar berita mengenai "surat peringatan" yang diberikan Otorita Ibu Kota Negara (OIKN) perihal pemerataan rumah-rumah penduduk khususnya di Kecamatan Sepaku.Â
Pertanyaan "mengapa" terus menghantui masyarakat di Kecamatan Sepaku yang dikirimi surat dari OIKN tersebut. Saat IKN resmi dibangun 2022 lalu, keinginan masyarakat Suku Paser di Kecamatan Sepaku yang disampaikan oleh pemimpin sukunya ketika diwawancara oleh salah satu stasiun berita adalah pemerintah memberikan semacam batas dan pemberian hak yang sah seara huun untuk lahan yang sudah dipergunakan untuk bertani oleh masyarakat tersebut sejak dulu.Â
Mereka juga tidak mau jika harus direlokasi dan meninggalkan warisan rumah panggung yang merupakan ciri khas Suku Paser itu sendiri. Mereka ingin generasi muda masyarakat adat -khususnya- Suku Paser dan Suku Balik yang paling terdampak pembangunan IKN tersebut, seharusnya dibina bukannya dibinasakan. Karena dengan adanya surat peringatan dari OIKN itu, mereka merasa lambat laun masyarakat adat asli yang telah lama tinggal di sana akan tersingkirkan.
Kabar turunnya surat peringatan dari OIKN tersebut rupanya bukan hanya kabar burung semata. Di internet banyak bukti bertebaran mengenai kebenaran adanya surat peringatan dari pemerintah kepada masyarakat untuk meninggalkan rumahnya. Memang, beberapa di antaranya sudah mendapatkan ganti rugi, dan itu hanya beberapa. Sisanya hanya harus menunggu ketidakpastian yang akan mereka dapati di kemudian hari.Â
Entah mendapat ganti rugi pula, namun dengan nominal yang jauh lebih kecil, atau justru akan terkena dampak penggusuran paksa dengan pemerintah yang angkat tangan tidak memberikan tanggung jawabnya. Tapi bukan hanya itu yang menjadi persoalan. Ini soal suku adat mereka yang terancam dihilangkan dengan adanya pembangunan IKN ini.Â
OIKN seakan memaksa masyarakat sekitar pembangunan IKN untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka sendiri. Apalagi itu namanya kalua bukan penyingkiran suku adat? Jika pun masyarakat yang sejatinya lemah dalam hukum, lemah dalam hal pembelaan, lalu mereka terpaksa harus menyingkir dari tanah milik mereka sendiri, lantas apakah mereka juga harus meninggalkan makam-makam leluhurnya, keluarganya, tanah kelahirannya?
Memangnya kenapa kalau masyarakat adat di sana direlokasi? Toh itu juga untuk tujuan pembangunan ibukota negara yang baru kan? Sempat terbersit pertanyaan bodoh seperti itu dalam pikiran penulis saat sebelum membaca artikel artikel berita mengenai 'relokasi' masyarakat adat di sana.Â
Relokasi, sepertinya pengusiran halus lebih cocok untuk dijadikan istilah pemerataan yang sedang berjalan di sana. Bagaimana tidak, masyarakat dipaksa menyerahkan tanah dan bangunannya untuk melancarkan pembangunan IKN dengan uang ganti rugi yang -kata masyarakat yang sudah ditawari uang kompensasi- diberi uang yasudah tanpa diberi jalan untuk relokasinya.Â
Menurut beberapa masyarakat itu juga baiknya pemerintah jika ingin merelokasi, ya relokasi dengan benar, jangan hanya diberi uang kompensasi lalu angkat tangan. Tapi memang betul, kalaupun benar Otorita IKN akan menjaga kelestarian dan keberlangsungan masyarakat adat serta kearifan lokal, harusnya masyarakat tersebut bukan diusir dan diberi kompensasi begitu, dong.Â
Bahkan sebelum itu ada isu yang mengaitkan bahwa "surat peringatan" yang saat itu diberikan oleh OIKN kepada masyarakat setempat tidak ada bedanya dengan praktek yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda saat mendatangi negeri ini empat abad yang lalu. Lho, memang ada hubungannya?Â
Tentu saja! Pola yang digunakan pemerintah kemarin saat menurunkan surat itu sama dengan pola perampasan tanah yang digunakan oleh koloni Belanda dulu. 'siapapun yang tidak bisa menunjukkan bukti bahwa tanah dan bangunan yang ditempati tersebut benar miliknya, maka tanah itu milik pemerintah'(?) Bagaimana bisa pemerintah memonopoli tanah rakyatnya sendiri?