TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL MELALUI Â PEMIKIRAN IDEALISME KHD
Oleh : C a c a, S.Pd., MS.i.
SMP Negeri 2 Kasokandel Kab. Majalengka
Kata 'Pendidikan' dan 'Pengajaran' itu seringkali dipakai Bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan 'pengajaran' (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Â Â Â Â Â Â Â Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya.
   Dengan sengaja saya memakai keterangan 'pada umumnya', karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama.
   Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas. Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syaratsyarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
   Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai 'tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak'. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Meskpun pendidikan itu hanya 'tuntunan' saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang jahat.
   Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat. Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya 'konvergensi'. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuhkembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
Kesadaran Terhadap Kodrat dan Keadaan Anak
   Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.
Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian dari persatuan (rakyat). Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) dan menjadi mandiri (merdeka lahir). Kekuatan diri (kodrat) yang dimiliki, menuntun murid menjadi cakap mengatur hidupnya dengan tanpa terperintah oleh orang lain.
   KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan "sifat" dan "bentuk" lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan "isi" dan "irama"
KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut
"Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan" (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)
   KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya menuntut anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman. Bila melihat dari kodrat zaman, pendidikan saat ini menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad ke-21 sedangkan dalam memaknai kodrat alam maka konteks lokal sosial budaya murid di Indonesia Barat tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid di Indonesia Tengah atau Indonesia Timur.
   Mengenai Pendidikan dengan perspektif global, KHD mengingatkan bahwa pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal sosial budaya Indonesia.  Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di Indonesia. Kekuatan sosial budaya Indonesia yang beragam dapat menjadi kekuatan kodrat alam dan zaman dalam mendidik (menuntun kekuatan kodrat anak).
   KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Artinya, cara belajar dan interaksi murid Abad ke-21, tentu sangat berbeda dengan para murid di pertengahan dan akhir abad ke-20. Kodrat alam Indonesia dengan memiliki 2 musim (musim hujan dan musim kemarau) serta bentangan alam mulai dari pesisir pantai hingga pegunungan memiliki keberagaman dalam memaknai dan menghayati hidup. Demikian pula dengan zaman yang terus berkembang dinamis mempengaruhi cara pendidik menuntun para murid.
Tantangan Pendidikan bagi Guru di Era Abad 21
   Dengan bergantinya sistem kurikulum yang digulirkan pemerintah dalam kurun waktu yang cepat, memberi tantangan tersendiri bagi pendidik untuk cepat pula beradaptasi dan mengembangkan kompetensinya agar dapat menerapkan kurikulum sesuai harapan. Hal lain yang menjadi tantangan pendidik adalah berkembangnya teknologi yang begitu cepat dalam era digital dan milenial seperti saat ini. Era ini dikenal pula dengan munculnya generasi Z.
Menurut Tabrani Yunis (www. pendidikan.id : 2018) generasi Z yang kita kenal sebagai orang-orang yang lahir di generasi internet, generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet. Bagaimana dengan lembaga pendidikan kita yang masih dominan dari generasi Y dan X. Akan sangat berbahaya, bila para guru generasi X tidak siap menghadapi kemajuan gaya hidup generasi Z. Karena, para pengelola pendidikan masih dikelola oleh para generasi old, generasi X yang rata-rata gagap teknologi. Akibatnya, terjadi gap atau jurang yang dalam antara guru dan peserta didik. Di mana guru atau tenaga pendidikan bergerak dan berpikir dalam pola zaman old, sementara peserta didik bergerak dan berfikir dalam pola milenial yang sangat cepat menguasai teknologi digital.
Hal lain yang mesti menjadi perhatian adalah ketika kecepatan kemampuan anak-anak milenial dan generasi Z menguasai teknologi digital, tanpa dibekali dengan keimanan dan akhlak mulia, menyebabkan anak-anak banyak terjebak pada hal-hal yang disebut dekadensi moral. Perkembangan peserta didik yang tidak terkontrol dengan baik dan bijak, akan melahirkan anak generasi milenial dan generasi Z yang bermoral rendah. Bila moralitas kalah, maka ini menjadi tantangan berat bagi guru dan masyarakat bangsa.
Hal inilah menjadi titik balik yang mesti kita buka lagi lembaran-lembaran tentang pendidikan kita. Kita harus pahami lagi, Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik asli Indonesia telah mengisyaratkan dalam pandangannya mengenai pendidikan kita. Beliau melihat bahwa pendidikan harus dilihat dari sisi manusia lebih pada sisi psikologinya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka sudah saatnya sebagai pendidik harus terus berbenah diri melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Sudah saatnya pendidik melakukan aksi nyata untuk bergerak dan terus belajar agar dapat memberikan tuntunan yang diharapkan dalam membangun diri manusia untuk lebih manusiawi. Disinilah pentingnya mengembalikan fungsi pendidikan yang hakiki yang sebenarnya untuk membangun manusia dengan watak dan kepribadian yang utuh sebagai pribadi dan sebagai masyarakat.
Selain itu, seorang pendidik pun harus tetap memiliki jiwa dan pandangan yang terbuka. Kita tidak bisa menutup mata terhadap perkembangan zaman dengan perubahan teknologi yang begitu pusat. Pendidik harus melek teknologi tetapi tetap diimbangi pula dengan penanaman karakter dan pribadi yang baik bagi anak-anak.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar, dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait), segi administrasi sebagai guru, dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu menjunjung tinggi pekerjaan, menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi manusiakan secara utuh setiap peserta didik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H