Sore itu Kota Daeng diselimuti hujan. Pesawatku baru saja lepas landas di bandar udara Sultan Hasanuddin. Saat kunyalakan handphone, ada pesan masuk darinya. Ternyata ia sudah berusaha menghubungiku dan memintaku untuk menelponnya sesegera mungkin. Jantungku mulai berdegup kencang karena ia jarang menelponku saat aku melakukan perjalanan. Aku langsung meneleponnya balik, detik-detik diantara setiap deringan terasa bagai selamanya, hingga akhirnya ia mengangkat telepon.
"Halo" kataku.
"Kamu dimana?"
"Di bandara baru sampai."
"Aku sudah menunggumu di depan kemarilah."
Aku tidak bereaksi. Pikiranku memutar-mutar hari sebelum keberangkatanku, sepertinya aku tidak memberitahunya sama sekali akan kesini. Lantas bagaimana ia bisa tahu dan berniat menjemputku? Oh sialan sepertinya ini jebakan.
Saat tatapanku mengarah ke pintu keluar, nampak Hilal yang sudah menungguku. Wajahnya terlihat sumringah menyambut kedatanganku. Setelah berjalan mendekatinya, mataku berpaling dan berkata "Hai.."
"Hai? Hanya itu yang kau katakan padaku setelah dua bulan tidak bertemu?"
Aku tertegun. Aku bisa membayangkan apa yang ia pikirkan. Namun aku harus bisa pura-pura tidak peduli kali ini.
"Memangnya aku harus berkata apa, Hilal? Bahwa aku merindukanmu?"
"Aku mengkhawatirkanmu."