Personal branding di media sosial tak selamanya menunjukkan sifat asli seseorang. Baru-baru ini, gempar di media sosial mengenai kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswi FEB UNAIR yang merupakan konten kreator terkenal bernama Safrina Putri Indira. Ia merupakan konten kreator yang mengedukasi banyak orang dengan kontennya yang edukatif. Namun, terkuak bahwa ia telah melakukan tindakan plagiarisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiarisme adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta.
Plagiarisme tersebut mulai ramai dibicarakan di media sosial ketika korban mengutip salah satu postingan di aplikasi X. Pada postingan kutipan tersebut korban bercerita bahwa ada konten kreator dengan personal branding yang sangat bagus di media sosialnya, aktif berorganisasi dan kepanitiaan, namun melakukan plagiarisme terhadap tugas milik korban. Diketahui pelaku plagiarisme tersebut hanya mengubah identitas kelompok dengan isi tugas yang sama persis dengan milik korban.
Setelah hal tersebut ramai dibicarakan, Safrina membuat video klarifikasi sebagai bentuk permohonan maaf. Ia menyadari bahwa perbuatan yang ia lakukan memang salah dan menjadikan hal tersebut sebagai pembelajaran. Namun masalah tak selesai sampai disitu, muncul video klarifikasi Safrina dengan korban. Ya, korban ikut klarifikasi dalam video berdurasi 1 menit 33 detik bersama Safrina. Korban tak seharusnya ikut klarifikasi bersama pelaku. Korban hanya memperjuangkan hak dan keadilan yang seharusnya ia dapatkan sebagai korban. Netizen yang melihat video klarifikasi tersebut geram dan berkomentar kenapa korban harus ikut klarifikasi padahal tidak salah.Â
"Jangan sampe dibalik layar dan untuk setelah ini si putri dimusuhin seangkatan dan terpojokkan.. ga terima gue". Kutipan tersebut merupakan salah satu komentar pada postingan video klarifikasi Safrina dengan korban.
Menurut saya, ungkapan korban untuk memperjuangkan hak dan keadilan tak seharusnya menjadi alasan untuk korban dijauhi dan dipojokkan. Korban dianggap hanya mencari sensasi. Padahal, butuh keberanian yang besar untuk korban mengungkapkannya. Hal tersebut seharusnya menjadi alasan untuk pelaku menerima sanksi sosial agar jera, bukan malah korban yang dipojokkan. Pihak fakultas menanggapi dengan merilis pers yang berisikan bahwa pelaku terbukti melakukan plagiarisme dan telah mendapatkan sanksi sesuai peraturan akademik yang berlaku. Lagi-lagi netizen memanas, apa maksud dari sanksi tersebut? kenapa tidak transparan?
Di saat kasus ini sedang ramai dibicarakan, diketahui Safrina masih hadir dalam acara Himpunan Prodi-nya sebagai MC pada tanggal 23 Maret 2024. Tentu hal tersebut memicu komentar negatif oleh netizen. Sikap safrina tidak menunjukkan seperti sedang diberikan sanksi sosial di lingkungannya atas perbuatan yang telah ia lakukan. Ia masih bisa tersenyum dan aktif beroganisasi sedangkan korban menanggung rasa gelisah karena spam dan ujaran kebencian yang ia terima. Padahal ia adalah korban, pihak yang paling dirugikan dan tidak bersalah.
Sangat disayangkan, seseorang dengan personal branding yang kuat di media sosialnya, melakukan plagiarisme dengan dampak yang luar biasa sejauh ini. Kasus tersebut merugikan banyak pihak. Nama baik Universitas dipertaruhkan, dan yang paling dirugikan tentunya adalah korban. Dalam kondisi apapun, tindakan plagiarisme tidak dapat dibenarkan. Berhenti menormalisasikan perbuatan pelaku dengan menganggap korban hanya mencari sensasi. Korban sepatutnya dilindungi, bukan dijauhi dan dipojokkan hanya karena menuntut hak dan keadilan baginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H