Pada hari Kamis (14/11/24), Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) angkatan 21 bersama 7 dosen pembimbing melakukan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Gedung Keanekaragaman Hayati (Kehati) BRIN, yang terletak di Kompleks Cibinong Science Center – Botanical Garden (CSC-BG) di Cibinong, Kabupaten Bogor.
    Muhammad Luthfi Hidayat, selaku dosen pembimbing kelompok 6, menjelaskan bahwa KKL merupakan salah satu kegiatan yang memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk terjun langsung dalam pengamatan spesimen baik zoologi maupun botani. "KKL ini adalah salah satu kegiatan wajib bagi mahasiswa biologi FKIP UMS, yang bertujuan untuk memahami informasi secara umum tentang spesimen baik zoologi maupun botani di BRIN" jelas dosen bergelar Ph.D ini.
     Pada KKL kali ini, kelompok 6 mendapatkan bagian untuk mengamati bagian Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) yang merupakan pusat depositori nasional kekayaan fauna berupa beragam koleksi spesimen fauna dari seluruh Indonesia. Museum Zoologicum Bogoriense  (MZB) didirikan pada tahun 1894 oleh J.C. Koningsberger, seorang ahli zoologi pertanian asal Jerman, yang bertugas mengumpulkan dan meneliti serangga pada tanaman pertanian di Kebun Raya Bogor. Seiring waktu, museum ini mengalami perkembangan pesat dengan terus bertambahnya koleksi yang dimilikinya.
     Hingga saat ini, MZB telah mengoleksi 2.853.473 spesimen, dengan jumlah yang terus bertambah setiap tahun melalui hasil riset. Hal ini menjadikan MZB sebagai museum fauna dengan koleksi ilmiah terbesar di Asia Tenggara. Pada kali ini kelompok 6 berfokus untuk mengamati koleksi Aves pada awetan kering.
     Tri Haryoko menambhakan bahwa pembuatan awetan kering aves di BRIN dilakukan melalui proses taksidermi untuk mengawetkan bentuk dan struktur burung. "Proses dimulai dengan pemilihan spesimen burung yang akan diawetkan, biasanya yang mati secara alami atau dari penelitian, dalam kondisi fisik yang baik. Spesimen kemudian dibersihkan dari kotoran luar, diikuti dengan pengangkatan organ dalam untuk mencegah pembusukan. Kulit burung dilepaskan dengan hati-hati agar bulu tetap utuh, kemudian bagian dalam tubuh dicuci, dikeringkan, dan diisi dengan bahan seperti kapas, serat, atau kawat untuk menjaga bentuk tubuh. Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan seperti boraks atau campuran kimia lainnya untuk mencegah serangan serangga dan jamur. Setelah itu, burung ditata dalam pose yang diinginkan dan dikeringkan di ruangan dengan suhu dan kelembaban terkendali. Setelah kering, awetan disimpan dalam lemari khusus atau dipajang di museum untuk keperluan penelitian dan edukasi" jelas Tri Haryoko selaku salah satu peneliti aves (burung) yang ada di BRIN.
Sedangkan perawatan awetan kering koleksi aves di BRIN dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kualitas spesimen. Langkah pertama adalah memastikan awetan disimpan di ruangan dengan suhu dan kelembaban yang terkontrol untuk mencegah kerusakan akibat jamur atau serangga. Kebersihan lingkungan penyimpanan juga dijaga, termasuk pembersihan rutin untuk menghindari penumpukan debu. Penggunaan bahan pengawet tambahan seperti silica gel atau kapur barus kadang dilakukan untuk mencegah kelembaban berlebih dan serangan hama. "Secara berkala, spesimen diperiksa untuk memastikan tidak ada tanda kerusakan, seperti bulu rontok atau perubahan warna. Jika ditemukan kerusakan, perbaikan segera dilakukan oleh tenaga ahli agar awetan tetap terjaga dalam kondisi optimal" imbuh Tri Haryoko.
Berbicara mengenai pelestarian biodiversitas dan burung langka, gerak konservasi dari laboratorium koleksi aves ini juga bergiat menggalakkan eksplorasi sumber daya genetik untuk tujuan penelitian dan konservasi atau bioprospecting. Langkah ini menjadi langkah lanjutan yang penting dalam upaya melestarikan cenderawasih serta burung-burung langka lainnya. Melalui bioprospecting , para peneliti tidak hanya memanfaatkan spesimen yang telah diawetkan tetapi juga mengambil sampel DNA dari individu cenderawasih, baik dari spesimen lama maupun burung yang masih hidup. Proses ini melibatkan teknik seperti pengambilan jaringan atau bulu secara minimal invasif, diikuti dengan analisis genetik untuk memetakan genom cenderawasih.
Hasil pemetaan ini memberikan wawasan tentang struktur genetik populasi, hubungan kekerabatan antarspesies, dan potensi adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Informasi tersebut sangat berharga untuk mendukung program konservasi, seperti mengelola populasi liar yang semakin berkurang atau mempersiapkan pengembangbiakan di luar habitat alami (ex situ) sebagai langkah terakhir jika populasi alami terancam punah. Bioprospecting juga membuka peluang untuk mengidentifikasi karakteristik unik cenderawasih yang dapat digunakan dalam penelitian evolusi atau biologi molekuler. Dengan langkah ini, cenderawasih tidak hanya dilestarikan secara fisik tetapi juga secara genetik, memastikan "burung surga" ini tetap menjadi bagian dari biodiversitas Indonesia yang kaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI