Dua orang petani mendapatkan masing-masing sebilah kapak dari sang Raja. Penguasa negeri ini. Seratus petani yang lain juga mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Hmm, kenapa sebilah kapak ?” tanyaku pada Jagabaya. Salah satu petinggi di kampung tempat aku tinggal.
“Kita akan membuka hutan lagi di tepi desa, kang,” jawabnya datar.
“Hanya dua orang ?” tanyaku. Dan ternyata hanya dijawab dengan senyuman.
Dua hari telah berlalu. Aku perhatikan kedua petani itu bekerja dengan giat menebang pepohonan di tepi desa sebelah selatan. Masing-masing petani mampu merobohkan sebelas hingga duabelas pohon besar.
Hari ketujuh telah kami lalui. Kedua petani tampak tak merasa lelah bekerja. Namun hasil yang didapatkan ternyata tidak sama. “Kenapa bisa begitu ?” tanyaku pada Jagabaya.
“Cobalah perhatikan. Petani yang satu tak pernah mengasah kapaknya. Sedangkan yang satunya lagi, rajin mengasah kapaknya tiap sore hari. Sesudah pekerjaan usai, karena matahari hampir terbenam.”
Aku tersenyum kecut mendengar penjelasan Jagabaya. “Pantas saja dia menjadi petinggi di kampung ini,” gumamku.
Gunungkidul, 16 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H