Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dendam Birahi

15 Agustus 2017   01:46 Diperbarui: 15 Agustus 2017   09:21 2957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kesalahanmu adalah menganggap semua orang sama seperti dirimu," sergahku melayangkan jurus menusuk torso Fazil Abdulah, pada pertarungan duel pedang, di arena anggar, dalam sebuah hall kastil.

Satu kali ayunan reflek gerakan manufer, ujung pedang sabre 90 sentimener di tanganku, menusuk lehernya -- tepat lawan jatuh berlutut, K.O!

Fazil Abdullah, menyerah, membuka mask wire sabre, tengadah angkuh, berpeluh. "Kesalahanmu menganggap orang tidak sama sepertimu, Khafka!"

Saat itulah aku membalik badan, membuka metalik jaket sabre, melangkah merentangkan tangan sambil menghela nafas, panas! Peluh mengucur menggurat jengkal demi jengkal otot torso.

Maka nampak torso wujud tubuhku berkeringat telanjang dada, membayang di antara panel-panel jendela kastil, tak peduli. "Ada saatnya kau egois, untuk menang, meski itu tanpa kerendahan hati, sobat! Jangan sesumbar dirimu berbeda, karena sesungguhnya manusia itu sama saja."

View jendela-jendela menampilkan seraut pucat malam, ketika bulan separuh menggantung di antara menara-menara kastil.

Tubuh telanjangku menyibak kelambu ranjang, setiba di bilik ratu. Lalu kami bercinta di redupnya malam, cahaya lilin yang bergoyang dan nyinyir angin yang berhembus mendorong tirai-tirai, menyingkap gelora malam yang kian larut, sementara di bawah kastil, seseorang tengah berlatih pedang, atau meratap dalam kesengsaraan, dan aku? Ya aku, "Tak peduli."

Malam ini, aku bercinta bersama malam dengan pulasan cahaya bulan yang halus mengintip menembus kaca-kaca jendela, sampai pertarungan di titik final. Otot punggungku naik meregang, kehangatan yang mengundang birahi, tersalurkan -- tersampaikan.

Mungkin itulah kehidupan, tentang penaklukan demi penaklukan, untuk? Menjadi yang terbaik, atau tersingkir, sebagaimana teori evolusi, tak kenal batas manusiawi, sekedar seleksi alam, berfikir "kau ada, maka kau menjelma wujud." Kemudian perjuangan diteruskan mengikuti seleksi alam, siapa terkuat dia yang akan menang.

Sahabatku pernah berkata, "aku tak sudi menjadi monster sepertimu!" Tepat saat dia berkata semacam itu, saat kami menunggang di atas pelana kuda, membidik impala di antara semak belukar hutan, panah di tangan busurku yang merentang, melesat menembak hewan cantik yang terhardik bidikan!

SLASH! ZLEB! Aku tersenyum menelengkan kepala menatap wajahnya yang memandang iba, lalu memacu kuda mendapatkan hewan buruan, ia pun turut menyertai, lalu mengatai, "Kau monster!"

Ia memandang tak suka melihat seringai senyum kemenanganku, saat hewan itu meregang ajal, anak panah menembusi lehernya, darah tersembur. "Tapi, bukankah aku adalah seorang pemenang, sobat?"

Dia memutar arah laju kudanya, lalu menghardik hewan itu, "Hyaaa..." Sambil melengos pergi, satu ucapan ia lontarkan, "Pada akhirnya pemenang akan berdiri sendirian." Begitu caranya merendahkan seorang pemenang, ketika kalah, demi membuatnya merasa lebih baik, lebih bijak! Dan itu memuakan, bukankah begitu?

"Tidak!" Tukas ratu, mengerang di atas pembaringan, saat tubuhku mengejang di atas tubuhnya, dan apakah terpuaskan? "Tidak!" Ratu beranjak, seperti sebuah penyangkalan, menyeruak dari selimut, menjauh dari tubuhku yang telanjang, telentang di atas peraduan beralas kain sutra, dan susunan bantal-bantal bulu angsa.

Ratu berujar, "Kau hanya tubuh!" Refleksi tubuhnya berdiri di antara panel jendela, menarik cawan anggur, lalu meneguknya, "Tidak ada apa-apa di dalamnya, hanya mesin pital yang digerakan hasrat memital, sesuatu yang kau tak mengerti, Khafka."

"Mungkin seperti itulah diriku, dan aku menerimanya, sayang." Malam pun selesai, pembicaraan selesai, pembahasan moral yang tak pernah selesai, seolah di antara kami memandang itu hal yang perlu.

Ratu memandang ke bawah kastil, seseorang masih di sana berlatih pedang, tumpul dan tak pernah melampaui apa yang ia tak bisa lampaui, dariku --tentu saja! "Aku memenangkan segalanya, rupa menawan, kuasa, dan pertarungan di arena."

Ratu diam, tak berhenti memandang ke sana, seseorang yang jauh di lubuk hati dirindukannya, itulah saat aku enggan menyadari, kalah dalam memenangkan hatinya, sesuatu yang mengerikan aku ratapi, kekalahan dalam dendam birahi.

#AbyKahfi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun