Ia memandang tak suka melihat seringai senyum kemenanganku, saat hewan itu meregang ajal, anak panah menembusi lehernya, darah tersembur. "Tapi, bukankah aku adalah seorang pemenang, sobat?"
Dia memutar arah laju kudanya, lalu menghardik hewan itu, "Hyaaa..." Sambil melengos pergi, satu ucapan ia lontarkan, "Pada akhirnya pemenang akan berdiri sendirian." Begitu caranya merendahkan seorang pemenang, ketika kalah, demi membuatnya merasa lebih baik, lebih bijak! Dan itu memuakan, bukankah begitu?
"Tidak!" Tukas ratu, mengerang di atas pembaringan, saat tubuhku mengejang di atas tubuhnya, dan apakah terpuaskan? "Tidak!" Ratu beranjak, seperti sebuah penyangkalan, menyeruak dari selimut, menjauh dari tubuhku yang telanjang, telentang di atas peraduan beralas kain sutra, dan susunan bantal-bantal bulu angsa.
Ratu berujar, "Kau hanya tubuh!" Refleksi tubuhnya berdiri di antara panel jendela, menarik cawan anggur, lalu meneguknya, "Tidak ada apa-apa di dalamnya, hanya mesin pital yang digerakan hasrat memital, sesuatu yang kau tak mengerti, Khafka."
"Mungkin seperti itulah diriku, dan aku menerimanya, sayang." Malam pun selesai, pembicaraan selesai, pembahasan moral yang tak pernah selesai, seolah di antara kami memandang itu hal yang perlu.
Ratu memandang ke bawah kastil, seseorang masih di sana berlatih pedang, tumpul dan tak pernah melampaui apa yang ia tak bisa lampaui, dariku --tentu saja! "Aku memenangkan segalanya, rupa menawan, kuasa, dan pertarungan di arena."
Ratu diam, tak berhenti memandang ke sana, seseorang yang jauh di lubuk hati dirindukannya, itulah saat aku enggan menyadari, kalah dalam memenangkan hatinya, sesuatu yang mengerikan aku ratapi, kekalahan dalam dendam birahi.
#AbyKahfi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H