Bagaimana masyarakat mampu mencapai tingkat perubahan dengan harapan perbaikan kesejahteraan sosial? Reformasi telah menjadi jawaban pada beberapa perkembangan peradaban manusia, termasuk di Indonesia. Reformasi adalah perubahan secara holistik tetapi tingkat perubahannya terbatas. Sukmana (2016) menjelaskan bahwa reformasi biasanya terjadi dalam sistem politik yang mana banyak orang menginginkan progresifitas dalam nilai-nilai sosial agar lebih relevan (Machionis, 1999). Di Indonesia, nilai-nilai agama telah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tak heran, eksistensi agama terukir dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah misalnya, telah melawan resistensi penjajah melalui pendidikan agama selama puluhan tahun, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kedua organisasi Islam tersebut beralih fokus dari pendidikan islam secara organik kemudian menjadi organisasi Islam-nasionalis dengan orientasi pada pembebasan penjajah. Pada saat itu, Islam digambarkan sebagai salah satu alat yang kuat dalam perubahan politik (kemerdekaan Indonesia).
Trajektori Islam sebagai nilai yang melekat dalam bangsa Indonesia telah berlangsung sejak pra kemerdekaan hingga pasca reformasi. Menurut Adnan (2021), Reformasi pada 1998 telah memberikan ruang bagi kelompok kelompok Islam untuk muncul ke permukaan. Perlu diketahui, kekuatan Orde Baru yang represif dan otoriter mampu dan berhasil menahan dan menekan gerakan Islamisme-idealis yang bertujuan mendirikan negara Islam, seperti gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Gerakan-gerakan Islam sejatinya sudah ada sebelum orde baru, yang ditunjukkan dengan model politik NASAKOM (Nasionalis-Sosialis-Komunis) ala Soekarno. Paham Islamisme terdepresiasi ketika Soeharto memegang tahta. Namun, ketika Orde Baru runtuh, maka kekuatan Islamisme melanda Indonesia, bahkan gerakan Islamisme internasional seperti Hizbut Tahrir. Reformasi dianggap membuka jalan, tak hanya bagi keberjalanan demokrasi yang berasaskan pancasila, tetapi juga masuknya formalisme agama yang kontra produktif dengan Pancasila. Ini menunjukkan tipe gerakan sosial sangat terkait dengan kepercayaan umum (generalized belief) yang mana para aktor (pendukung gerakan Islamisme) akan berjuang sampai nilai dan norma yang mereka yakini diterima secara legal formal.
Â
DEMOKRASI TIDAK RELEVAN (?)
Misi utama Islamisme adalah mengusung syariat Islam menjadi aturan resmi negara (Mahmuddin, 2015). Islam dan politik merupakan dua entitas yang mana relasi keduanya merupakan isu klasik yang membentuk sejarah dan peradaban manusia. Politik sebagai conception of power memiliki kuasa dan kewenangan dalam decision making untuk membina kerjasama, menyelesaikan konflik, dan alokasi kebijakan pada berbagai sektor seperti ekonomi dan sosial untuk mengatur kehidupan masyarakat. Namun di sisi yang lain, Islam sebagai ajaran agama berada pada field yang sama. Agama dikenal sebagai ajaran yang terindikasi dari kitab suci dan pengakuan akan Tuhan. Islam menginginkan adanya kewenangan tertentu untuk mencapai pengaruh yang luas pada kehidupan masyarakat, yang mana hal tersebut merupakan konsep politik itu sendiri. Kaum agama khususnya kaum fundamentalis Islam menginginkan syariat Islam dilibatkan dalam setiap pertimbangan politik atas dasar belief system, yaitu keyakinan bahwa dunia akan lebih baik dengan menerapkan syariat Islam dalam sistem politik (pemerintahan khilafah)
Gerakan-gerakan Islam "radikal" tentunya bertujuan untuk memberlakukan syariat Islam dan gagasan anti-demokrasi, yang mana dianggap sebagai produk gagal yang bertentangan dengan syariat Islam. Demokrasi dicap sebagai produk barat yang anti Islam dan anti Syariat. Padahal, beberapa nilai-nilai Islam yang bernafaskan demokrasi terdapat dalam beberapa konsep, misalnya al-syura (musyawarah), ijma (konsensus), al-musawa (persamaan), al-adal (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), dan lain sebagainya. Artinya, Islam sebagai agama dan aspek politik bisa saja mengembangan konsep demokrasi yang berisi nilai sakral demokrasi dan sakral Islam. Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi bahwa tidak ada paham demokrasi yang dianggap final, yang mana perwajahan demokrasi masih bisa dikembangkan, termasuk dengan memasukkan nilai-nilai Islam.
Walaupun demikian, beberapa organisasi masyarakat Islam pasca reformasi seperti The Islamist Surakarta dan Hizbut Tahrir Indonesia menganggap bahwa demokrasi itu buatan Barat dan belum tentu cocok dengan kultur Indonesia apalagi ajaran Islam. Menurutnya, ajaran Islam mengutamakan musyawarah, yang mana dianggap telah dirusak oleh demokrasi yang mengajarkan pemungutan suara. Bahkan, dalam tataran yang lebih radikal, Islamis-idealis menolak total nation-state dan mendukung penuh Islamic state. Ini tentu patut disayangkan, karena kemunculan islamisme yang berorientasi anti demokrasi justru dapat hadir dan muncul ke permukaan karena adanya pembebasan nilai-nilai demokrasi yang mendorong kebebasan berekspresi, khususnya pada para fundamentalis Islam. Namun, kemunculan gerakan radikal Islam sebagai buah dari reformasi justru membuat demokrasi terancam mengalami kemunduran.
PERBEDAAN PERSPEKTIF: NASIONALIS VS FUNDAMENTALIS
Salah satu dinamika penting dari demokratisasi di Indonesia adalah keberadaan kelompok-kelompok sosial masyarakat yang menunjukkan perhatian dan kepedulian tentang kondisi di dalam upaya menuju tercapainya masyarakat yang demokratis (Akbar, 2016). Mereka  membangun kesadaran dan bergerak bersama-sama dengan melibatkan diri dalam berbagai persoalan dan menentukan arah dari kebijakan negara. Perjuangan kelompok Islam dalam kerangka yang demokratis seringkali ditafsirkan dalam sudut pandang yang beragam. Ini juga merupakan buah demokratisasi yang memunculkan keragaman. Namun, yang terpenting adalah bahwa gerakan sosial Islam membawa misi tertentu, yakni adanya perubahan di dalam masyarakat menjadi lebih baik, tentunya "baik" versi mereka. Karenanya, bentuk perjuangan Islam di Indonesia tidak pernah homogen karena setiap kelompok Islam memiliki kekhasan dalam menafsirkan perjuangan Islam.
Perjuangan menegakkan nilai Islam di Indonesia tentu tidak hanya terinisiasi dari kelompok "radikal" dalam mengubah fundamental negara ,enjadi sistem khilafah. Organisasi Islam besar Indonesia seperti NU dan Muhammadiyyah juga turut serta memperjuangkan nilai-nilai Islam namun dalam corak yang lebih moderat. Gerakan sosial Islam yang ditunjukkan NU dan Muhammadiyah cenderung berusaha menjauhkan diri dari dunia politik, walaupun pengaruhnya masih terasa dalam dunia politik (Mulkhan, 2022). Ini dikarenakan gerakan sosial yang kedua organisasi tunjukkan sulit terlepas sebagai ajaran moral-etika karena membawa nama sakral agama yang ditakutkan akan luntur apabila terlalu jauh masuk ke dalam politik.