Seperti yang pernah kubaca dalam sebuah catatan di Facebook milik Arby Nur, bahwa kehidupan ini sama halnya dengan lembaran buku, tulisnya; ada yang mengisahkan alur kesedihan, adapula lembar kebahagian. Bedanya, lembaran hidup harus dibuka secara urut dan tuntas. Tidak bisa dipilih hanya halaman yang menyenangkan.
Cerita hidup yang membosankan, kisah sedih pernah dirasakan, pada akhirnya juga akan sampai pada perasaan membahagiakan. Masing-masing menunggu giliran untuk merasakan berbagai macam perasaannya, karena waktu bahagia tidak mesti sama bukan? Seperti yang diyakini, bukanlah suatu kemustahilan bahwa manusia hidup layaknya roda yang terus berputar.Â
Terkadang berada di atas, kemudian di bawah rasanya seperti sedang diterjunkan ke dasaran jurang memberi sensasi mendebarkan, itu semua atas dasar kehendak Allah subhanahu wa ta'ala.
Aku sebelum pandemi melanda telah menjalani kehidupan dengan rutinitas bertemu banyak anak, mereka duduk di bangku taman kanak-kanak berbasis taman tahfidz. Sewaktu-waktu aku merasa bahagia, lalu perasaan lelah menggantikan setelahnya. Fase-fase seperti ini wajar dilalui. Biasanya, untuk menghalau rasa penat dengan aktivitas bertemu anak-anak, aku mengingat waktu bersama mereka saat sesi mendongeng.
"SUARA ULAR?" Aku memulai dengan teriakan menggema, dengan begitu suaraku tidak tenggelam. Setelahnya mereka akan menyahuti suaraku dengan bunyi ular.
"Huuussttt," seru mereka diiringi gerakan tangan pada masing-masing telunjuk yang diletakkan di bibir. Ini bertujuan untuk menginterupsi kebisingan mereka, walaupun cara ini tidak pernah berlangsung lama. Ha-ha-ha.
"Ustadzah akan mulai mendongeng. Angkat tangan yang mau mendengarnya?" Suaraku semakin lantang. Anak-anak akan menatap dengan sorot mata antusias dengan tangan mengacung ke atas. Di sini sebutan ustadzah memang dipakai sebagai kata pengganti Ibu Guru. Jadi tidak bermaksud apa-apa, selain berupa doa bagi murid kepada gurunya.
"Eoh, ada yang tidak mau mengangkat tangannya. Terus wajahnya juga bermuka masam. Kenapa ya kira-kira? Coba yuk kita tanya sama-sama." Arah mata mereka menuju pada satu objek, kemudian secara bersama-sama mereka berseru, "Kamila... ow Kamila... kenapa kamu murung?"
Aku mengambil langkah menghampiri anak mungil bernama Kamila tersebut, lalu mulai memeluknya. Senjata ampuh bagi anak-anak, karena dengan pelukan mereka merasa disayangi, tapi memang sesayang itu sih aku dengan anak-anak kecil ini.
"Kamila kenapa?" Tanyaku seraya mengusap kepalanya sayang. Sembari mendekap tubuhnya aku juga membawa dia dalam pangkuanku