Mohon tunggu...
Byatie Tjoa
Byatie Tjoa Mohon Tunggu... -

Seorang yang sedang belajar untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

My Lovely Husband

14 Februari 2014   17:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebal..sebal..sebal, kenapa sih jadi laki-laki tidak ada romantis-romatisnya. Padahal aku tidak minta terlalu banyak, cuma minta dibeliin coklat sama bunga mawar di hari valentine, kayak kebanyakan film-film romantis yang sering aku lihat itu. Tetapi sejak pacaran sampai kami menikah 2 tahun yang lalu, nggak pernah satu kalipun terjadi. Aku cuma ingat kami pernah satu kali, bener deh cuma satu kali, kami makan malam bersama di restoran saat hari valentine, tetapi yaa itu, aku nggak bisa hitung sebagai ajang makan malam romantis, karena dengan jelas dan pasti, kami makan malamnya bersama-sama dengan seluruh keluarga besarnya, sekitar 10 orang lebih.

Maka kali ini, benar kali ini, Mas Bram harus (sedikit aja) bersikap romantis, bagaimanapun caranya.

***

“Mas, valentine sebentar lagi loh.”

“Iya.”

“Mau dong dibeliin bunga?”

“Buat apaan? Lagian mahal Dek.”

“Plastik aja deh.”

“Ooh banyak tuh plastik di kantor. Besok aku ambilin, mau berapa banyak?”

Bibirku seketika mengerucut, melengos dan berjalan menuju dapur, tanpa menjawab pertanyaan terakhirnya. Iiih apa-apaan tuh, ambil dari kantor? Mau berapa banyak? Benar-benar tidak punya sisi romantis sama sekali.

Beberapa kali aku menaruh gelas, piring dan sendok dengan keras ke atas meja, berharap ia bertanya dan menyadari kalau sang istri sedang ngambek dan kesal dengan jawaban suaminya, tetapi ditunggu-tunggu tidak ada gerakan atau pun kehadirannya, bahkan bertanyapun tidak. Sebal!.

***

“Mas. Lihat deh. Ada iklan nih.” Aku menyodorkan ponselku ke arahnya. Ia menoleh, aku semakin bersemangat. “keren ya Mas, romantic dinner in the sky,” ucapku, mengharapkan tanggapan positif darinya. “bagaimana Mas?”

“Apanya?”

Dinner, yuk?” tanyaku sambil memperlihatkan sederetan gigi putihku.

“Boleh, tapi jangan di atas atap Dek, ntar masuk angin!” jawabnya santai, sambil kembali melihat korannya.

Heh, masuk angin! Mataku menyipit, menutup rapat mulutku, dan memperlihatkan wajah paling menyebalkan kepadanya, tetapi tentu saja ia tidak melihat karena tertutup koran. “Ntar pulangnya kan bisa minum tolak angin!!” jawabku ketus sambil melengos masuk ke dalam kamar. Kali ini, aku melempar bantal ke lantai dan meninju guling berulangkali, dan (tentu saja) sambil membayangkan wajahnya. Sebal!.

***

Malas sekali rasanya hari ini. Aku bangkit dan menyobek selembar kertas tanggalan yang tergantung di sudut rumah. Hufff.. kini angka 14 terpapang jelas di sana, semakin membuatku lemas. Aku kembali melangkah masuk ke dalam kamar, aku tidak mau keluar rumah dan berharap hari ini cepat berlalu.

Saat kunyalakan ponsel, terlihat beberapa teman mulai memasang status di berbagai jaringan sosial media dan saling memberi ucapan “happy valentine’s day”. Mataku berputar, aaakh.. aku tidak mau meneruskan, maka segera saja jariku menonaktifkan dan melempar ponselku ke atas meja, lalu merebahkan tubuh dan memejamkan kedua mata.

“Dek, aku berangkat ya.”

“Hmm..” jawabku mengangguk dengan mata terpejam. Aku malas menjawab, aku tidak mau melakukan apa-apa hari ini, titik.

Sore tiba, dan aku masih saja terbaring lemas di tempat tidur. Sudah dipastikan jika rencana besarku tahun ini kembali gatot, gagal total.

“Dek, kamu sakit?” ia menyentuh keningku. “sudah minum obat?” aku menggeleng pelan. Lalu Mas Bram berjalan keluar, pergi.

Beberapa menit kemudian aku kembali mendengar suara Mas Bram memanggil. Aku mencoba membuka mataku, mengira-gira sudah berapa jam aku tertidur hari ini, kepalaku pening.

“Bangun yuk Dek, aku sudah siapin makan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku meraih tangannya, bangun dan mengikutinya berjalan menuju dapur.

“Ini Mas yang buat?” ucapku tidak percaya. Entah sudah berapa lama, Mas Bram tidak membuatkan ini untukku. Bubur ikan khas buatan Mas Bram. “enak Mas!” ucapku dengan mata berbinar, aku melihatnya tertawa kecil.

“Sudah nggak sebal kan?” tanyanya sambil meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku.

“Sebal? sama siapa?” jawabku santai tanpa berhenti memasukkan sendok berisi bubur ke dalam mulutku.

“Ya nggak tahu juga sih,” ucap Mas Bram dan menepuk-nepuk pelan kepalaku. “maaf ya Dek, Mas nggak romantis ya? abis terus terang, Mas bingung mau beli bunga dan coklat di mana?” Aku tidak menghiraukan ucapan dan perlakuannya, bubur ikan buatan Mas Bram menyihirku kuat. “malu juga mau masuk ke toko bunga, hmm apalagi toko coklat, kayak ABG aja rasanya.” Mas Bram mengambil kursi dan kini duduk di hadapanku. “tadi aku cuma beliin ini aja.., eh nggak apa-apa kan ya Dek?” ucapnya dengan wajah memelas, di jari telujuknya tergantung sebuah gantungan kunci berbentuk kucing bulat berwarna biru yang memiliki kantong ajaib.

Aku terperangah, dan kami saling bertatapan.

Iiih beneran sebal kalau begini situasinya. Sebal banget jika Mas Bram mulai melakukan hal-hal ‘manis’ seperti ini, membuatku tidak bisa marah apalagi membantah ucapannya.

“Ini makan malam dan hadiah terbaik di hari valentine!” aku mencium cepat pipinya dan tersenyum malu-malu.

I love you, my lovely husband.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun