Awal Bulan Agustus ini di Indonesia jumlah kasus positif Covid-19 masih dalam kondisi terus-menerus bertambah, pada rata-rata 1200 kasus setiap harinya. Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia juga masih menunjukan tren kasus positif yang terus bertambah. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke 23 negara yang memiliki jumlah kasus positif terbesar.Â
Negara besar seperti negara yang tergabung dalam G7 menunjukan penambahan yang sangat besar. Dikarenakan padatnya lalu lintas orang keluar masuk maupun aktivitas di dalam Negerinya. Terlebih tracing dan test swab yang di lakukan secara masal menguak lebih baik seberapa besarnya  kasus positif di dalamnya.Â
Tetapi ada yang unik pada negara G7,  Jepang yang memiliki jumlah lalu lintas manusia yang padat dan juga relatif dekat dengan negara asal awal merebaknya Virus Corona memiliki jumlah kasus positif dan juga rasio jumlah kematian yang paling sedikit, bahkan menduduki peringkat ke 47. Padahal Jepang tidak menerapkan kebijakan Lock Down seperti Korea Selatan. lalu apakah yang terjadi pada langkah Jepang melakukan tindakan pencegahan terhadap Covid-19 ?
Seperti yang kita ketahui Covid-19 menular melalui tetesan yang sangat kecil yang berasal (droplets) dari mulut dan hidung, maka melakukan jaga jarak merupakan salah satu langkah yang efektif untuk mengurangi resiko penularan. Bahkan pada negara tertentu langkah jaga jarak tersebut ditekankan dengan cara yang lebih ekstrim dalam bentuk pembatasan pergerakan atau Lockdown.
SOFT LOCKDOWN atau PSBB
Tetapi meskipun Jepang pada tanggal 15 April lalu menerapkan status gawat darurat Nasional, pemerintah Jepang tidak menerapkan Lockdown di masyarakat yang diiringi dengan sanksi hukum legal terhadap yang melanggarnya. Tetapi Jepang malah menggunakan pendekatan yang lembut seperti di Indonesia yang dikenal sebagai PSBB.Â
Hanya saja Pemerintah Jepang meskipun sudah mulai membuka teritorialnya untuk dimasuki oleh warganegara lain, tetapi melakukan pembatasan orang keluar masuk dari Negara yang infonya dapat dilihat pada link berikut ini. Warga Negara Indonesia merupakan salah satu egara di Asia yang masih dilarang untuk memasuki JEpang.
Pemeirntah Jepang menghimbau dan meminta warganya untuk menahan diri untuk bepergian keluar rumah tanpa alasan yang jelas, dan meminta industri retail, restaurant, bar dan tempat umum untuk tutup sementara tanpa adanya desakan untuk menutup sementara secara legal dan mengenakan sanksi hukum. Ternyata himbauan dan arahan protokoler yang bersifat soft tersebut cukup untuk menjadi sebuah de facto hukum yang ditaati masyarakatnya.Â
Tetapi patut kita pahami kenapa himbauan dan aturan yang bersifat soft seperti itu berdampak dan ditaati oleh masyarakat Jepang. Seperti yang telah saya tulis dalam beberapa artikel mengenai budaya Jepang, masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang homogen. Sanksi secara sosial dan tekanan untuk menghargai dan tidak merepotkan dan membuat orang lain menjadi kesusahan karena diri kita sendiri sangat mengakar di Jepang.Â
Kestabilan secara sosial di masyarakat mengakar di benak tiap warganya yangtelah terbentuk selama beberapa abad sebelumnya. Â Maka agar tidak merepotkan orang lain dan bertanggung jawab menjadi penyebab penularan virus kepada yang lain, masyarakat lebih memilih untuk mentaati dan melakukan tindakan agar menghindari resiko penularan.Â
PROGRAM "THREE Cs"
Beberapa kebijakan pragmatis berupa himbauan yang diterapkan dan disebut dengan istilah Three Cs. Program tersebut adalah menutup fasilitas atau ruang dengan siklus udara yang buruk. Kedua menutup ruang publik yang bersifat padat.Â
Ketiga menerapkan jaga jarak dan mengenakan berbagai alat yang diperlukan agar mengurangi atau menghentikan penyebaran droplets antar manusia. Bahkan setelah keadaan darurat nasional diangkat, kesadaran masyarakat akan bahaya masih terus berlanjut.Â
MISTERI KESUKSESAN PENANGAN COVID-19
Tetapi meskipun begitu, hasil yang dapat dibilang baik dalam penanganan Covid menjadi sebuah misteri lain dihadapan para pakar kesehatan dan kebijakan masih menjadi misteri.
Karena Pemerintah Jepang secara eksplisit dalam statemennya mengungkapkan bahwa testing masal sebesar yang dilakukan oleh Korea atau Amerika hanya membuang-buang sumber daya. Karenanya Tes masal tetap dilakukan hanya pada area tertentu dan bersifat relatif kecil. Penanganan preventif pencegahan juga relatif lambat daripada negara tetangga atau negara besar lain. Kebijakan pencegahan ini sempat dikritisi tidak hanya media di dalam negara Jepang, tetapi juga diluar.
Terlebih pada awal merebaknya Cobid-19, Pemerintah Jepang masih berupaya untuk dapat menyelenggarakan Olimpade musim panas 2020 di Tokyo, yang akhirnya ditunda tahun depan. Dan sikap tersebut pernah menimnulkan opini  bahwa pemerintah Jepang sengaja menutupi kasus Covid-19 agar Olimpiade Tokyo tetap berjalan.
Alasan lainnya adalah traumatisme Jepang saat kasus H5N1 merebak. Masyarakat berbondong-bondong mengunjungi lokasi kesehatan untuk melakukan testing. Dan ketika disaat orang berjubel menunggu antrian untuk mendapatkan layanan tes, virus H5N1 malah menyebar saat itu.
Perbedaan SARS dan COVID-19 adalah, pada SARS virus baru menular setelah gejala atau symptoms terlihat jelas, COVID-19 menunjukkan tingkat penularan yang tinggi oleh orang-orang yang tidak menunjukkan gejala atau yang gejalanya belum terlihat. Jadi cara untuk mencegah infeksi adalah dengan melakukan tindakan secara tepat. Tetapi test PCR sendiri memiliki sentivitas sekitar 70-90% sehingga masi tetap dapat menghasilkan ketidak akuratan hasil tes. Sehingga dapat dipahami meskipun seberapa cepatnya melakukan penanggulangan tes PCR masal,  masih ada beberapa kasus yang tidak dapat dideteksi. Sekali lagi, penanganan COVID-19 ini dapat dikatakan sangat sulit.
Melihat perkembangan dewasa ini dan beberapa penjelasan kebijakan situasi diatas, daripada memilih melakukan prevensi penanggulangan penularan infeksi virus dan tes masal besar-besaran, Jepang memilih untuk  mencermatimengambil pendekatan berbasis cluster di mana upaya diarahkan untuk mendeteksi dan mengisolasi kelompok infeksi dan melakukan treatmen pada cluster yang terinfeksi. Alih-alih menghilangkan risiko penularan infeksi, Jepang memilih untuk menghentikan penyebaran penyakit dari cluster yang sudah terdeteksi.Â
Hal ini membantu meringankan permintaan akan perawatan medis di fasilitas kesehatan, sehingga memelihara sumber daya rumah sakit yang cukup untuk merawat pasien yang memiliki gejala paling serius, dan mencegah angka kematian melonjak. Strategi tersebut tampaknya berhasil dan selama tidak terjadi ledakan kasus, kebijakan tersebut akan terus dilaksanakan meskipun jumlah infeksi harian terus meningkat. Â
Belajar hidup bersama COVID-19
Baik di Indonesia maupun di Jepang, meskipun kebijakan soft ini menimbulkan reaksi pro dan kontra, dan sempat memunculkan opini diberlakukannya herd immunity. Â
Kebijakan tersebut sama sekali bukan merupakan strategi pemerintah untuk lepas tangan dan mempromosikan herd immunity. Virus tidak dapat dibasmi secara menyeluruh, namun upaya pencegahan tetap harus dilakukan.Â
Untuk menyeimbangkan kehidupan di masyarakat dan mempertahankan aktivitas ekonomi, di Jepang setiap orang dihimbau dan didesak untuk melakukan himbauan Three Cs tersebut yaitu mengupayakan physical distancing dan menghindari tempat-tempat orang berkumpul, seperti restoran dan retailer, dan diminta untuk menerapkan langkah-langkah ketat protokoler untuk mencegah infeksi. Kebijakan tersebut dapat kita pahami kurang lebih sama seperti apa yang diterap di Indonesia yang disebut dengan Era New Normal .Â
Patut dipahami kondisi sosial masyarakat dan sifat masyarakat di Indonesia bersifat lebih heterogen dan beragam. Kondisi budaya, ekonomi dan berbagai aspek lain pun berbeda. Bukan berarti masyarakat Jepang lebih baik, atau masyarakat di Indonesia lebih buruk dalam mentaati aturan dari pemerintah. Hanya saja sekiranya kita memerlukan penanganan yang lebih bersifat khas agar program, pesan dari pemerintah ini dapat diterima, dikomunikasikan dan diterapkan secara tepat di lapisan bawah masyarakat.
Akhir kata, masalah yang kompleks ini akhirnya seakan-akan dikembalikan ke masyarakat dan individu masing-masing. Sepertinya kita lupa bahwa masalah ini merupakan masalah kolektif dan memerlukan pendekatan yang tepat pula bagi masyarakat di Indonesia.Â
Sesuatu yang kompleks tidak dapat begitu saja direduksi ke individu. Meskipun kebijakan penanganan kurang lebih sama antara Jepang dan Indonesia. Tetapi pendekatan implementasi yang lebih bersifat khusus perlu  untuk diterapkan agar program pemerintah ini dapat berjalan dengan baik bagi masyarakat di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H