Begitu pula dengan kelas sosial lain seperti petani, pedagang dan pengrajin tidak dapat berpindah tempat tinggal dengan mudah. Karena daerah lain merupakan daerah yang dimiliki oleh tuan tanah yang berbeda dan hampir tidak mungkin untuk pindah tempat tinggal. Bahkan rakyat diluar kelas  'Samurai' juga diwajibkan ikut berperang ketika sang tuan tanah memerintahkan untuk mengangkat senjata.Â
Proses yang telah berlalu selama 260 tahun tersebut hingga restorasi meiji membentuk budaya masyarakat Jepang yang setia terhadap satu profesi dan tempat kerja. Bahkan setelah restorasi meiji dan pasca perang dunia kedua, pemerintah Jepang mengeluarkan slogan yang kurang lebih menyuarakan bahwa "tempatmu bekerja adalah keluargamu".Â
Slogan tersebut digaungkan untuk menyemangati kembali masyarakat Jepang untuk bangkit kembali pasca perang dunia kedua yang menghancurkan berbagai sisi terutama sektor industrialisasinya yang hebat di Asia. Perusahaan dianalogikan sebagai tempat untuk mengabdi, seperti ketika Samurai dan rakyatnya bekerja untuk melayani suatu daerah teritorial dan tuan Tanah di era feodal.
Budaya senioritas mengakar pada masyarakat Jepang baik itu di komunitas, di sekolah, di tempat kerja atau di pemerintahan. Kemudian karena keloyalitasan seseorang terhadap pekerjaan dan perusahaan menjadi suatu nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Tidak lazim bagi orang untuk berpindah kerja, terlebih lagi sistem kerja dan status "karyawan tetap hingga pensiun" di terapkan.
Sehingga agar seorang karyawan dapat meningkatkan kesejahteraanya dan meningkat karirnya, diperlukan bekerja dengan loyal dan bertahan pada satu perusahaan.Â
Kemudian, karena berpindah kerja agar mendapatkan gaji yang lebih besar bukan merupakan suatu opsi yang lazim dan umum bagi masyarakat Jepang, memiliki nilai dan perspektif baik di mata senior merupakan suatu cara agar dapat naik pangkat. Karenanya budaya lembur dan 'tidak pulang terlebih dahulu mendahului senior' terlestarikan dan menjamur di kultur budaya di etos bekerja masyarakat Jepang.
Perusahaan di Jepang juga tidak mengadopsi kebijakan "recruitment at will", atau merekrut pegawai yang dapat dilakukan setiap saat setiap waktu. Karena perusahaan Jepang mengadopsi sistem "karyawan tetap", hampir setiap perusahaan menerapkan model sistem perekrutan karyawan dilakukan di awal musim Semi di Jepang. Dilanjutkan dengan pelatihan dan diikuti seremonial dan orientasi pengenal karyawan.
Bagaimanapun fenomena pindah kerja dan berganti profesi tetap bisa ditemukan, hanya saja tidak begitu banyak meskpiun trending secara statistika sedikit meningkat. Sistem kerja status karyawan tetap seumur hidup atau permaent employee menjadi suatu kebijakan yang diberlakukan selain karena unsur budaya juga karena orang Jepang menginginkan suatu kestabilan dalam stukrur sebuah perusahaan.
Meskipun dewasa ini juga terdapat isu yang muncul yang dapat diperdebatkan karena kultur bekerja di perusahaan Jepang di Jepang, seperti menjadi maraknya budaya minum-minuman alkohol selepas kerja dan karoushi atau dikenal dengan lembur sampai mati yang diterapkan oleh beberapa perusahaan. Tetapi seperti itulah alasan mengapa masyarakat di Jepang cenderung tidak berpindah tempat kerja atau berganti profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H