Pertanyaan atau fenomena ini amat sangat sulit untuk dijawab, mengingat guru, murid/ siswa-siswi  sebagai  komponen utama sebuah sekolah adalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf, salah dan dosa seperti kebanyakan manusia pada umumnya.
Disamping itu pemicu kekerasan tersebut, tidak hanya disebabkan oleh faktor murid/siswa-siswi, tapi faktor orang tua wali juga berperan, misalnya orang tua wali karena sesuatu hal, belum dapat memenuhi atau melunasi  kewajiban di sekolah anaknya.
Sehingga kondisi ini membuat kesal oknum guru dan kekesalan ini ditumpahkan kepada anaknya, yang notabene juga adalah murid/siswa-siswi-nya disekolah.
Saya pernah menjadi " guru pembantu " di 3 sekolah  dan 3  wilayah pedesaan dengan budaya masyarakatnya relatif berbeda, betapa sulitnya untuk menjadi seorang guru yang ideal ditengah keberagaman latar belakang siswa-siswi-nya.
Oleh karena itu guru harus bijak serta hati-hati dalam bersikap dan "menghukum" Â murid/siswa-siswi yang dianggap tidak disiplin dan cenderung melanggar tata tertib sekolah.
Secara kelembagaan, sekolah hendaklah selalu memerankan orang tua wali dan memberdayakan guru bimbingan konseling (BK) setiap kali ada pelanggaran yang di lakukan murid/siswa-siswi.
Langkah ini bertujuan agar persoalan kecil tidak berkembang menjadi persoalan  besar yang akan berakibat vatal dan  juga tentunya akan merugikan murid/siswa-siswi serta berdampak negatif  terhadap nama baik sekolah.
Mencegah tentu akan lebih baik ketimbang menindak dan menjatuhkan  hukuman kepada pelaku pelanggaran, terlebih persoalan sekolah, diantara murid/siswa-siswi dan guru sampai diselesaikan oleh aparat penegak hukum.
Jadi menurut saya kekerasan di sekolah hanya dapat diminimalisir dengan formula kolaborasi diantara pihak sekolah dan orang tua wali murid/siswa-siswi serta memaksimalkan tugas dan fungsi guru bimbingan konseling (BK ). #