Mungkinkah Prosesi Pernikahan Secara  Adat  Dapat Lestari  Ditengah Kehidupan Moderen Nan Heterogen  ?
Bismillah,
Kemarin siang saya ikut rombongan mengantarkan salah seorang dari anak tetangga kerumah calon isterinya untuk melangsungkan akad nikah di salah satu kelurahan Kota Bengkulu.
Keikutsertaan saya mengantar calon pengantin pria ketempat calon pengantin perempuan kali ini, bukanlah yang pertama, melainkan sudah yang kesekian kalinya.
Akan tetapi untuk yang  kali ini lain dari yang lain, karena informasinya pihak mempelai perempuan  menggunakan adat  menerima calon pengantin pria dan rombongan serta dalam prosesi akad nikahnya menggunakan adat kebiasaan setempat.
Untuk itu calon pengantin pria didandani  menggunakan pakaian adat dengan pernak - perniknya dan dua orang pemuda sebagai pengapit juga mengenakan pakaian adat, tapi tidak selengkap pakaian calon pengantin, ini untuk membedakan antara calon pengantin dan pengapitnya.
Sedangkan rombongan pengiring baik pria maupun perempuan mengenakan pakaian pantas dan khusus yang pria wajib mengenakan kain sarung serta baju sebaiknya jas atau baju motif teluk belanga, tapi ini wajib.
Sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak rombongan calon pengantin pria tiba ditempat calon pengantin perempuan tepat pada waktunya, kami tidak langsung kerumah calon pengantin perempuan, tapi istirahat sejenak dirumah salah seorang warga yang sudah ditunjuk.
Tak lama kemudian,  seorang tokoh adat setempat,  sebagsi utusan menjemput calon pengantin beserta  rombongan menuju rumah calon pengantin perempuan, ini suatu isarat bahwa rombongan resmi diterima sebagai  tamu adat.
Ditengah perjalanan, Â menjelang memasuki rumah calon pengantin perempuan, dimana didalam sudah menunggu tokoh-tokoh adat, agama, pemerintah, dan penghulu nikah, rombongan dicegat oleh seseorang dengan membawa cerano dan meminta calon pengantin mencicipi serkai sirih, lalu di silahkan memasuki ruangan majlis akad nikah.
Tatkala sudah berada didalam, saya mengamati ternyata tidak ada yang istimewa, biasa-biasa saja dan ketika persiapan sudah dianggap selesai, lalu pemimpin acara memulai acara prosesi akad nikah.
Susunan acaranya-pun saya dengar simpel saja, setelah kata pembukaan dari protokol, ada pembacaan ayat-ayat suci Al Qur'an dan kata sambutan dari sohibul hajat. Lalu waktu diserahkan kepada penghulu untuk memimpin prosesi akad nikah sampai selesai dengan penyerahan " buku nikah."
Sampai disitu saya lihat tidak ada  ritual adat, sama seperti ditempat lain yang biasa disebut secara nasional, seperti petata - petitih atau simbol-simbol yang berlebihan kecuali cerano yang berisi serkai sirih.
Boleh jadi pada tahapan  "menikmati jamuan"  atau makan bersama ada nilai adatnya, dimana jamuan dihidangkan dan disantap di ruang majlis akad nikah, tidak dengan cara perasmanan.
Jadi kesimpulan saya bahwa menerapkan adat dalam rangka pernikahan diperkotaan ditengah kehidupan moderen, dimana  penduduknya sudah heterogen seperti kota Bengkulu sulit untuk dilakukan sebagaimana mestinya.
Hal tersebut juga diperparah dengan semakin langkahnya kaum muda yang memahami ritual adat istiadat setempat karena minimnya sosialisasi dan bimbingan teknis tentang adat istiadat.
Kondisi kurangnya generasi yang mengerti persoalan peradatan ini, tentu tidak saja melanda wilayah perkotaan, melainkan di pedesaan kabupaten juga lebih kurang sama.
Sehingga perlu kerja keras dari pihak yang bertanggung jawab di bidang ini, bila ritual adat hendak digunakan dalam berbagai aspek kehidupan  di masyarakat dan dengan demikian adat dapat lestari.
Majulah kita semua. #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H