Mohon tunggu...
Buwuhan Team
Buwuhan Team Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lolos Pendanaan PKM-RSH 2024

Buwuhan Team merupakan tim yang lolos pendanaan PKM-RSH 2024 dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Buwuhan Team mengangkat topik mengenai Tradisi Buwuh, Utang-Piutang, dan Modal Sosial.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tradisi Buwuh dan Utang-Piutang: Membangun Inklusi Keuangan Melalui Tradisi Lokal

30 Juni 2024   10:00 Diperbarui: 30 Juni 2024   10:20 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu membutuhkan uang, baik diperoleh dari pendapatan maupun pinjaman dari pihak ketiga baik sektor formal maupun non-formal. 

Pinjaman dari pihak ketiga atau dalam kata lain utang-piutang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia selama masih menggunakan uang sebagai alat transaksi. 

Kegiatan utang-piutang ini erat kaitannya dengan tenggat waktu pengembalian. Jika masyarakat terlambat mengembalikan pinjaman ke sektor formal yakni bank, maka masyarakat akan mengalami kredit macet. 

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023, rasio kredit macet atau Non-Performing Loan adalah 2,19%. Nilai NPL ini menunjukkan bahwa dari seluruh nilai kredit/pembiayaan yang disalurkan ke bank umum, sekitar 2,19% yang pembayarannya macet atau bermasalah. Angka ini juga jauh lebih baik dibanding masa pra-pandemi yang terlihat pada grafik berikut. 

Sumber: OJK (diolah)
Sumber: OJK (diolah)

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki nilai kredit macet terbesar di seluruh Indonesia. Adapun, nilai kredit macet provinsi Jawa Timur sebesar 3,01% sehingga membawa Jawa Timur menempati peringkat kelima kredit macet terbesar seluruh Indonesia. 

OJK mencatat hingga per Juli 2023, Jawa Timur juga menjadi provinsi tertinggi ketiga dalam kategori pinjaman online sebesar 6,78 triliun. Kondisi ini sangat memprihatinkan pasalnya jika berlangsung dalam waktu yang lama akan berpotensi menimbulkan minimnya inklusi keuangan serta melambatnya pergerakan ekonomi. 

Di sisi lain, Jawa Timur merupakan daerah yang masih kental akan kebudayaan lokal, salah satunya yakni tradisi buwuh. Tradisi buwuh merupakan tradisi jawa yang memberikan sumbangan kepada penyelenggara hajatan. Di beberapa daerah, tradisi ini dikenal dengan nama lain seperti mbecek, nyumbang, kondangan, ngamplop, masiadapari (Batak), tolo-tolo (Nias), mahosi (Ambon), passalog (Bugis), serta ondangan (Sunda). 

Tradisi ini dianggap sebagai bentuk ikatan sosial untuk menolong sesama, tetapi apabila dilihat dari sisi resiprositas, tradisi ini dianggap sebagai bentuk utang-piutang yang harus dikembalikan. 

Hal ini dikarenakan dalam tradisi buwuh terdapat suatu aturan atau norma tidak tertulis yang mengharuskan adanya pengembalian untuk menghindari konflik di masyarakat dan dilandasi oleh perasaan sungkan karena telah memberikan bantuan penyelenggaraan hajatan. 

Sistem utang dalam tradisi buwuh sangat berbeda dengan sistem utang pada umumnya, karena dalam sistem utang tradisi buwuh tidak terdapat tenggat pengembalian yang pasti. 

Dalam tradisi buwuh, pengembalian dilakukan ketika pihak pemberi menyelenggarakan hajatan. Umumnya dalam tradisi ini, masyarakat mencatat nominal buwuhan sebagai landasan dalam mengembalikan buwuhan. 

Selain itu, ditemui adanya fakta bahwasanya tradisi ini dapat diistilahkan sebagai "beli nasi" yang artinya ketika mendatangi hajatan, pihak tersebut tidak mau hanya makan saja tanpa memberikan imbal balik kepada pemilik hajatan sehingga memaknai buwuh yang diberikan sebagai uang "beli nasi" atas makanan yang telah disuguhkan.

Dalam tradisi buwuh memuat peran modal sosial, yakni unsur norma, kepercayaan, serta jejaring. Dalam tradisi buwuh, masyarakat jawa terkhusus masyarakat Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang masih memegang teguh norma masyarakat yang turun-temurun. Hal ini terlihat dari aktivitas penerima dan pemberi buwuhan yang saling timbal-balik. 

Apabila pemberi buwuhan memberikan buwuhan, maka pihak penerima buwuhan akan mengembalikan buwuhan tersebut karena terdapat suatu kewajiban yang tidak tertulis, tetapi disepakati secara sosial bahwa seseorang yang menerima pemberian akan mengembalikan kepada pihak yang memberi buwuhan. 

Selain itu, masyarakat memiliki kepercayaan mengenai tradisi buwuh yang mana hal ini merupakan bentuk kebiasaan masyarakat Lowokwaru, sehingga mereka menganggap bahwa tradisi ini diharuskan memberi serta mengembalikan buwuhan. 

Unsur jejaring juga terdapat dalam tradisi buwuh yang mana terlihat dari hubungan sosial antar masyarakat kecamatan Lowokwaru yang selalu memberikan buwuhan setiap diundang karena memiliki manfaat dalam hal membentuk kerukunan dan mengurangi beban penerima buwuhan. 

Selain itu, unsur jejaring juga terlihat dari kedekatan antara pemberi dan penerima buwuhan. Ketika kedua belah pihak dekat, maka pemberi buwuhan memberikan buwuhan dalam nominal yang jauh lebih besar serta sembako dalam jumlah banyak. 

Berdasarkan pelaksanaan tradisi buwuh di masyarakat, mencerminkan kondisi yang tidak sejalan dengan teori ekonomi rasional. Ekonomi rasional menjelaskan kecenderungan manusia memperoleh keuntungan dari setiap tindakan yang diambilnya. Akan tetapi, berbeda halnya dengan konsep sumbangan dalam tradisi buwuh yang sebagian besar dianggap bukan sebagai utang yang harus dikembalikan meskipun mereka merasa terbebani dari adanya tradisi tersebut. 

Kondisi nyata seperti ini tidak mampu dijelaskan oleh ekonomi rasional karena manusia cenderung membuat pilihan yang tidak menguntungkan secara ekonomi. Namun, kondisi nyata dalam tradisi buwuh sejalan dengan teori ekonomi kelembagaan dimana tradisi buwuhan dianggap sebagai aturan atau norma yang sudah menjadi collective action dalam suatu masyarakat, sehingga apabila tidak melaksanakannya, maka akan mendapatkan sanksi. 

Tradisi buwuh dapat mendorong inklusi keuangan melalui pencatatan nominal yang akurat, sehingga masyarakat dapat menjaga keuangan dengan teratur serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pengelolaan keuangan yang bijak yang mana pada akhirnya berdampak pada peningkatan literasi dan inklusi keuangan. 

Seperti yang telah kita ketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan Jawa Timur memiliki inklusi keuangan pada tahun 2023 sebesar 92,99%, sedangkan tingkat literasi keuangan adalah 55,33%. 

Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan inklusi keuangan tidak diiringi dengan peningkatan literasi keuangan. Maka dari itu, dengan memanfaatkan tradisi buwuh yang masih kental di masyarakat, maka dapat mengintegrasikan peningkatan literasi keuangan melalui tradisi buwuh guna meningkatkan keuangan yang inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun