“Aku kira kita teman...” kata-katanya kali ini terdengar begitu lemah. Perlahan ku angkat wajahku, ku lihat bulir-bulir air mata jatuh satu per satu dari ujung matanya yang semakin memerah. Ku tatap lembut wajahnya, aku ingin meyakinkan bahwa dia benar.. bahwa kita adalah teman, teman selamanya.. dan semua yang terjadi ini, apapun itu.
Tak pernah sekalipun aku ingin membuatnya marah seperti sekarang, bahkan memikirkannya pun aku tak pernah. Tapi dia pergi.. perlahan langkah-langkah kakinya menjauh dari tempatku berdiri. Meninggalkan aku sendiri yang masih menatap lurus kearah bayangannya.
Aku terdiam, tubuhku lemas seketika itu juga. Apa sebenarnya yang terjadi tadi? Aku bahkan tak bisa memikirkan apa yang telah ku lakukan sehingga bisa membuatnya sebegitu marah kepadaku.
***
Setiap waktu, setiap detik dalam hidupku semenjak aku mengenalnya aku dan dia tak pernah bertengkar, dia adalah yang terbaik dari yang terbaik. Dia adalah yang terindah dari semua anugerah yang pernah aku terima.
Dan bila kini dia marah padaku, membenciku... pasti ada sesuatu yang salah diantara kami, tak mungkin tak ada alasannya,, tak mungkin terjadi begitu saja.
***
Tatapan matanya terasa menusuk jantungku setiap aku tanpa sengaja bertatapan dengan matanya. Mata itu, mata yang dulu selalu memancarkan sinar kasih sayang, sinar persahabat yang paling hangat kini terasa begitu dingin dan membekukan. dia berubah begitu cepat..
Aku berusaha menemuinya setiap waktu, aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh rasanya benar-benar aneh bila dia berubah begitu cepat, begitu saja.. tapi dia tak pernah mau menemuiku, bahkan ketika dengan sengaja aku menahannya. Dia kembali menatapku tajam, menampilkan wajah permusuhan dan kemudian melepaskan paksa tangannya dari tanganku, tanpa bicara satu katapun.
“..seandainya kau mengatakan satu kata saja untuk menjelaskan semuanya, maka aku bersedia menerima semuanya.. bahkan aku bersedia menghukum diriku sendiri untuk semua yang telah aku lakukan yang menyebabkan kau membenciku..”
***