Mohon tunggu...
yuliana indriani
yuliana indriani Mohon Tunggu... -

muslimah, mahasiswa dan pemimpi..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

best friends???

28 Oktober 2010   23:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mataku mengerjap sesaat ketika menengadahkan kembali kepalaku menghadap langit, sinar matahari yang perlahan menyapa memaksa pupil mataku kembali mengecil sesaat untuk menyesuaikan sinar yang seharusnya masuk ke kornea, perlahan mataku mulai terbiasa , mulai nyaman dan merasakan keindahan yang biasa ku sapa setiap hari. Hari ini lebih cerah dari biasanya, artinya langit akan terlihat semakin indah. Mataku masih menatap lembut langit, mencoba menikmati tiap pergerakan awan putih yang selalu bisa mendamaikan hatiku, bahkan ketika hatiku sangat kacau seperti sekarang.

Perlahan ku hapus sisa-sisa air mata yang masih membekas diwajahku, tak pantas aku bersedih ketika melihat keajaiban sedang ada di hadapanku. Ku biarkan hati dan pikiranku hanyut dalam keindahan ini, perlahan ku sandarkan tubuhku pada pohon beringin besar  yang selalu setia menjadi sandaranku ketika aku membutuhkannya. Aku masih menatap awan-awan yang indah di atas sana, rasanya aku ingin terbang.. terbang bersama awan.

Burung-burung terlihat terbang berpasang-pasangan menuju rumah mereka, bersama.. dengan bahagia. Entah mengapa ada sedikit rasa sesak yang tiba-tiba kembali menyerangku. Perasaan yang menyiksa batinku, perasan yang sungguh tidak mengenakkan. Ku pejamkan mataku untuk sekedar berusaha sedikit menekan semua rasa yang menyiksaku ini. Tapi kenyataannya aku tak sanggup, bulir-bulir air mata itu kembali  jatuh begitu saja mengiringi kepergian burung-burung yang bahagia itu.

***

Aroma kayu cendana tercium dari jarak 20 cm ketika aku membuka pintu kamarku, perlahan ku dorong daun pintu yang wangi itu dan kemudian dengan segera menguncinya, aku butuh waktu sendiri sekarang. Baru sesaat saja aku memasuki kamarku, menghirup aroma kamarku, dan merasakan kenyamanan karena aroma kayu cendana daun pintu kamarku tapi tubuhku sudah kembali lemas, semakin lemas. Mataku langsung memandang lesu sebuah figura yang selalu aku banggakan, rasanya aku ingin sekali tak percaya dengan semua yang terjadi saat ini ketika kembali melihat foto yang ada difigura itu.. akankah semuanya berakhir seperti ini saja? Semuanya hancur begitu saja... sungguh aku

tak ingin percaya bahwa semua ini nyata.

***

Aku masih berdiri terpaku di tempatku, aliran darahku terasa mengalir begitu cepat, napasku bahkan tak punya irama yang jelas saat ini. Aku menatapnya tajam, sungguh aku tak percaya bahwa dia yang melakukannya, sungguh tak percaya.

“kenapa menatapku seperti itu? Sudah ku bilang aku tak mau... Jauhi aku! ” matanya terlihat merah dan nada bicaranya begitu bergetar ketika mengatakannya. Aku masih diam, masih menatapnya tak percaya. Dia... dia menghentakkan tangannya dengan paksa ketika seperti biasa aku menggandeng tangannya.

“Jangan bertingkah seolah-olah tidak tahu apa-apa! Apa sebenarnya yang kamu lakukan padaku? Katakan! Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan padaku! Aku cape bersabar menunggu kamu menjelaskan semuanya, tapi kamu... kamu selalu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kamu bersikap seperti kamu sama sekali tidak pernah berbuat salah, berhentilah bersikap seperti itu terhadapku! Karena aku sudah tahu semuanya, dan aku membencimu!” dia berteriak keras kepadaku, berteriak di depan wajahku... dengan wajahnya yang memerah, dengan matanya yang berkaca-kaca. Bahkan hanya dengan menatapnya pun aku bisa merasakan hukuman yang paling menyakitkan bagiku.

Aku menundukkan kepalaku, mencoba membuat keadaan menjadi lebih baik dengan menampilkan sikap mengalah, mencoba memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa sebenarnya sehingga dia sangat marah kepadaku dan bahkan meneriakkan semua itu kepadaku? Apa yang telah aku lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun