Mohon tunggu...
butho idjo
butho idjo Mohon Tunggu... -

Hanya seorang engineer biasa :) => http://butho.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pecahkan Saja Kacanya Biar Ramai

31 Agustus 2010   14:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:33 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="" align="alignleft" width="255" caption="sumber gambar: http://pencaksilatuny.wordpress.com/"][/caption] Matahari telah jauh condong diarah barat hingga kemudian hilang di balik perbukitan kapur. Sinarnya yang perlahan memerah menandakan sang surya akan segera kembali ke peraduannya. Andi yang tak sabar menunggu datangnya malam, mondar-mandir dihalaman rumahnya. Dia tak sabar untuk segera membuktikan pada teman-teman didesanya bahwa dia juga mampu mengikuti jejak para senior-seniornya di kampungnya, yakni melakukan atraksi pencak silat diatas panggung. Terhitung telah 6 bulan lamanya dia latihan intensif dibawah bimbingan seorang pamong desa yang terkenal lihai bermain silat. Beberapa jurus telah dipelajarinya. Baik jurus tangan kosong maupun jurus bersenjata. Tak lama kemudian, terdengar adzan maghrib menggema dari sebuah masjid. Dengan segera Andi masuk ke rumah untuk mengambil sarung kemudian bergegas pergi ke masjid. Ditengah perjalanan dia berjumpa dengan temannya, Akbar. “Ndik, denger-denger nanti malam kamu ikutan naik panggung ya?”, tanya akbar. “Iya, kamu ikutan juga ya, biar rombongan kita rame”. “so pasti donk, aku pengen lihat atraksimu ntar malam. Bisa bikin bangga ataukah bikin malu, hahahaha. Kalau bikin malu, aku pasti akan pertama teriak, turuuuuuuuuuuuunnn, hahahaha”, akbar ketawa sambil memegangi perutnya. “hehehe, liat aja atraksiku ntar malam. Akan kubuktikan bahwa aku bisa”. *** Selepas sholat maghrib di masjid, Andi kemudian bergegas menuju balai desa. Disana telah ada beberapa seniornya yang juga akan ikutan pentas diatas panggung. Dipintu masuk balai desa, Andi berhenti sejenak untuk sekedar memandangi sebuah papan yang bertuliskan, “Perguruan Pencak Silat Gajah Buana, Desa Pereng Wetan, kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur”. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Ntah artinya apa. “beberapa jam lagi aku akan tampil di wilayah kecamatan Manyar. Akan kubuktikan bahwa perguruanku tidak kalah dengan perguruan yang ada di wilayah kecamatan Manyar”, berkata Andi dalam hatinya. “Ndik, ayo dicoba lagi gerakannya, nanti abis isya’ kita langsung berangkat.” Andi terkejut mendapatkan sapaan yang tak terduga dari belakang. Ternyata beliau adalah gurunya, Pak Jaelani, seorang pamong desa. “Ba…ba…ba…baik Pak Jai”, bergegas Andi pun mengikuti langkah gurunya yang telah mendahului menuju ketengah balai. *** “Apakah semua peralatan pentas telah siap”, seru Pak Jaelani kepada semua muridnya dibalai desa. “Sudah Pak. Clurit, tongkat, pedang maupun seragam perguruan, semua telah dibawa”, jawab Basuki, seorang murid senior. “Bagus, sekarang semua naikkan ke mobil pick up, kita akan segera berangkat”, perintah Pak Jaelani kepada semua muridnya. “Oiya Pak Jai, mobil pick up-nya yang belum siap, mungkin setengah jam lagi baru nyampe sini”. “Waduh, kok lama. Cari dimana tadi mobilnya?”, tanya Pak Jaelani pada Basuki. “Dikota sebelah Pak Jai”…. “Jiah, apa deket-deket sini ga ada?”……. *** Mobil pick up itu pun datang. Bukan dalam rentang waktu setengah jam seperti yang dikatakan Basuki, tapi satu setengah jam. Total murid Pak Jaelani yang akan naik pentas hanyalah berjumlah 10 orang. Tapi yang ikut rombongan adalah semuat-muatnya mobil pick up. Dikarenakan begitu banyaknya para pemuda desa yang ingin ikut rombongan, hingga mobil pick up itu pun tak cukup untuk menampung semuanya. Beruntung bagi yang punya motor, mereka akan bisa berangkat sendiri tanpa harus berjubelan didalam mobil tersebut. Sekitar pukul 9 malam, rombongan itu pun berangkat. Andi, Akbar, dan beberapa orang temannya saling berpegangan. Jubel-jubelan, jepit-jepitan tidak mereka hiraukan. Yang penting bisa berangkat. Sekitar setengah jam perjalanan, sampailah Andi dan rombongan di gapura desa tempat dilaksanakannya acara. Dari cerita beberapa orang seniornya, Andi mendapat kabar bahwa di desa inilah terdapat satu perguruan Pencak Silat yang bernama “BURUNG DADALI”. Ciri khas dari perguruan ini adalah aksi tarung 5 orang secara bersamaan. Kelima orang itu masing-masing membawa senjata. Dan yang paling menarik, tidak ada istilah teman dalam aksi tarung tersebut. Semuanya musuh. “Aku ingin sekali melihat aksi itu, dan juga membuktikan bahwa aksiku juga tidak akan kalah sama mereka”, berkata Andi dalam hatinya. Untuk masuk ke desa itu, mobil harus melewati jalan desa yang berkelok kelok dan lebarnya hanya 6 meter. Dikanan kiri jalan desa itu berupa tambak. Andi yang melihat kondisi jalan seperti itu jadi miris hatinya. Jika sopir mobil pick up tidak hati-hati, bisa-bisa nyemplung ke tambak. Jika benar-benar nyemplung, wah, bisa nggak jadi tampil di panggung. Ketar ketir Andi karena perasaannya sendiri. Tak berapa lama, sampailah rombongan dikampung pertama. Dari situ, lamat-lamat terdengar bunyi gendang dan jidor yang dipukul berirama. “Kayaknya acaranya dah mulai Ndik”, berkata Akbar pada Andi. “Sepertinya iya Bar. Aku kok deg-degan ya?”… “Hahaha, ayo, buktikan Ndik kalo desa kita juga ga kalah sama desa sini”. “Dukung aku teman” “So pasti Ndik”… *** Mobil pun semakin merayap kedalam kampung. Semakin dalam semakin sulit mobil itu bergerak karena jalanan sesak oleh warga yang pingin menyaksikan pagelaran pencak silat didesa mereka. Akhirnya, mobil itu berhenti sekitar 10meter dari panggung. Satu persatu, para remaja dan pemuda desa Pereng Wetan turun dari atas mobil. Begitu juga Pak jaelani yang duduk dikursi depan. “Basuki, atur teman-temanmu untuk bersiap-siap”, perintah Pak jaelani pada Basuki. Basuki pun langsung mengatur teman-temannya untuk mendekati panggung dan mendaftarkan perguruannya ke panitia acara. Pada saat basuki dan teman-temannya mengecek semua pelengkapan yang mereka bawa, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah panggung. “Ada apa? Apa yang terjadi”, Basuki pun mencoba untuk mengetahui sumber kegaduhan dan mendekat kearah panggung. Namun tiba-tiba………….. “Awas kepalaaaaaaaaaaaaa”, teriak Basuki sekencang-kencangnya. PYAAAARRRRRRR…………. Teriakan basuki pun disusul dengan pecahnya kaca depan mobil pick up yang membawa mereka. Andi, Akbar dan beberapa orang kawannya yang langsung tiarap begitu mendengar teriakan Basuki segera bangun ketika mendengar ada suara kaca pecah dari mobil yang mereka tumpangi. “Hey, bukankah tadi sopir masih didalam mobil???” (cerita sebelumnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun