Mohon tunggu...
Butet Rsm
Butet Rsm Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dari tiga anak yang tinggal di Bantul.

Ibu-ibu biasa yang menyukai menulis dan bersosialisasi lewat media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mendesak Kesadaran Masyarakat akan Literasi Kesehatan Mental

22 Mei 2021   08:00 Diperbarui: 23 Mei 2021   17:58 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Mei menjadi bulan kesadaran kesehatan mental yang diperingati setiap tahun di Amerika. Sementara itu di Uni Eropa, pekan kesehatan mental berlangsung pada tanggal 10--16 Mei 2021. 

Sedangkan di negara kita, untuk turut berpartisipasi mengampanyekan pentingnya kesadaran akan kesehatan mental, terpaksa pegiat kesehatan mental harus menumpang kalender Barat. Tepatnya pada setiap bulan Mei dan tanggal 10 Oktober pada saat peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia. 

Apa boleh buat, faktanya memang belum ada hari dan bulan peringatan kesadaran kesehatan mental secara khusus di Indonesia. Kesehatan mental memang nampaknya belum menjadi isu yang penting untuk masyarakat Indonesia. 

Kita dapat melihat bahwa seringkali pada peristiwa-peristiwa sadis dan brutal yang terjadi kadang media menelisik hingga ke isu kesehatan mental pelaku. 

Namun, seiring berlalu berita tentang hal itu, berlalu pula kesadaran bahwa kesehatan mental memang hal serius yang harus menjadi perhatian bersama. 

Seperti kasus sate beracun salah sasaran, yang beberapa waktu lalu begitu mengejutkan kita semua. Pelaku berusaha menyakiti orang lain secara agresif dan terencana. 

Hal tersebut andaikata diketahui lebih cepat, sebenarnya sudah dapat menjadi ciri dari deteksi awal adanya gejolak dalam kestabilan mentalnya. 

Begitu pula dalam peristiwa-peristiwa kenakalan remaja di luar nalar yang makin sering terjadi. Misalnya kasus beberapa waktu lalu di Sidoarjo saat seorang remaja membakar rumah tetangga karena kecanduan game online. 

Permasalahan yang banyak dibahas adalah soal kecanduan game. Lalu para orangtua beramai-ramai membahas cara mencegah anaknya dari kecanduan game.

Padahal perihal kecanduan game di era berpadunya teknologi dengan pandemi ini bisa dikatakan sebagai sebuah ketidaknormalan baru yang sebenarnya agak mustahil untuk bisa ditanggulangi secara cepat tanpa memperhatikan isu yang lebih penting yakni tentang kesehatan mental seorang anak yang kemudian memilih game sebagai sarana hiburannya. 

Isu tentang adanya gangguan mental seharusnya bisa terdeteksi sejak dini andaikata setiap keluarga sudah melek soal pengetahuan kesehatan mental dan cara mendeteksinya. Sayangnya literasi kesehatan mental pada umumnya baru dipahami sebatas kulitnya saja. 

Masyarakat kebanyakan dianggap sudah melek literasi kesehatan mental ketika mereka sudah bisa menyebutkan beberapa jenis gangguan mental dan definisinya. Padahal ada hal yang tak kalah pentingnya setelah mengetahui definisi dari beberapa jenis gangguan mental umum, yaitu pengetahuan soal Pertolongan Pertama Psikologi atau First Psychologist Aid (PFA). 

Pengetahuan tentang PFA mungkin adalah hal yang sangat mendasar untuk para pakar dan pegiat psikologi, namun bagi orang awam seperti saya PFA masih sangat asing. 

Saya mendengar tentang PFA pertama kali baru saat mengikuti Kuliah Umum dari Center for Public Mental Health (CPMH) UGM di bulan Maret 2021 lalu. 

Sebelumnya, saya pikir segala hal yang berkaitan dengan kesehatan mental hanya boleh dibahas oleh pakar seperti psikolog dan psikiater saja. Namun setelah saya mendapat kuliah umum tentang PFA, ternyata idealnya PFA dikuasai oleh setiap individu. Fungsi PFA persis seperti kotak P3K yang wajib dimiliki di setiap rumah.

Permasalahannya, bagaimana mau ada PFA di setiap rumah? Untuk mengakses materinya saja kita perlu aktif mencari tahu sendiri. Tak ada posternya di ruang-ruang publik. 

Perihal kesehatan mental masih didominasi oleh konten-konten di media sosial berupa quote dan kisah-kisah yang seharusnya menginspirasi untuk mengupayakan usaha kesehatan mental. Namun seringnya justru kisah-kisah tersebut disalahpahami sebagai sesuatu yang edgy dan kekinian. 

Faktanya, generasi muda justru terlihat ingin mencicipi pengalaman sakit mental ketimbang mengetahui cara-cara mengenali, mencegah meningkatnya keparahan gangguan, serta menanggulangi gangguan kesehatan mental. 

Saya tidak sedang mengada-ada dan menuding semua generasi muda seperti itu. Kita dapat melihat pula banyaknya relawan, baik mereka yang menjadi penyintas maupun mereka yang kepeduliannya muncul karena sudah mengemban tugas sebagai seorang caregiver atau keluarga dari penyandang gangguan mental. 

Lalu, bagaimana dengan para orangtua? Okelah, bagi mereka yang tinggal di kota besar, hal semacam ini mulai menjadi perhatian. Bahwa sudah menjadi hal biasa, datang ke psikolog ataupun psikiater ketika punya anak yang mengalami gangguan kesehatan mental. Bagaimana dengan yang hidup di kampung-kampung dan pedesaan? 

Maraknya konten-konten berupa quote tentang depresi dan bahkan video self-harm yang dilakukan oleh remaja seiring meningkatnya kenakalan remaja seharusnya sudah cukup menjadi pemantik bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap pengetahuan tentang kesehatan mental. 

Kita tidak perlu menunggu satu generasi menjadi generasi yang hancur karena depresi dan gangguan mental lainnya, bukan? Kita pun tidak perlu menunggu membanjirnya berita tentang bunuh diri ataupun berita kriminal yang brutal untuk mengangkat tema kesehatan mental. 

Sungguh rasanya penting sekali mempunyai pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan mental menjadi sesuatu yang penting dimiliki oleh setiap keluarga. 

Idealnya, pengetahuan soal kesehatan mental menjadi hal yang sama penting dan berjalan beriringan dengan pendidikan dan kesejahteraan keluarga. 

Maka, jika boleh berandai-andai, sungguh alangkah idealnya jika secara berkala ada kelas-kelas tentang kesehatan mental untuk para orangtua yang diselenggarakan di kampung-kampung oleh dinas kesehatan atau lewat komunitas dari para praktisi kesehatan mental. 

Mungkin angan-angan saya tadi sungguh hal yang ngadi-adi dan bisa jadi akan berakhir menjadi sekadar usulan seorang netizen. Pasalnya, hari dan bulan peringatan pentingnya kesehatan mental di Indonesia saja kita masih nebeng negara lain, kok berani-beraninya berharap akan hal yang idealis. 

Tampaknya, butuh tenaga ekstra dari kelompok-kelompok pegiat kesadaran akan kesehatan mental untuk melakukan aksi lewat kampanye di masyarakat. 

Barangkali justru lewat kesadaran komunal, pemahaman akan literasi kesehatan mental dapat lebih merata diterima dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat. Sehingga kelak, perihal kesadaran akan kesehatan mental tak hanya jadi konten kesukaan para generasi muda saja, namun juga menjadi makanan wajib bagi masyarakat pada umumnya. 

Butet RSM, ibu dari tiga anak yang tinggal di Bantul 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun