Dan Tulang, yang rumahnya ketepatan berada
dekat dengan lokasi kecelakaan berusaha menenangkanku sepanjang
perjalanan menuju Puskesmas, "Tenang, Mak Christ."
Sesampainya di UGD Puskesmas ternyata kondisi sedang sangat ramai
karena sebelum kedatangan kami, ada juga kecelakaan 3 sepeda motor
beruntun.
Aku diturunkan dan dibawa ke ruang UGD. Seorang perawat segera
memasang infus di tanganku dan seorang dokter memeriksa luka di wajahku.
"Dok, jangan wajahku dilihhat. Lihatlah kakiku. Sudah lumpuh!" teriakku. Lalu
dokter itu menyahut, "Tenang, ya, Bu. Di wajah Ibu banyak darah''.
Setelah infus selesai dipasang, dokter dan perawar pergi entah ke mana.
Mungkin melayani pasien yang lain karena memang hari itu cukup banyak yang
masuk UGD. Lalu aku berseru sambil berharap ada yang mendengar, "Anakku
mana? Mana Anakku?" Namun tak seorangpun menjawab. Lalu kudengar
suara merintih di sebelahku, "Mama! Mama!"
Aku menoleh ke asal suara. Ya,
Tuhan! Aku melihat putraku, Christ, dia telungkup seperti ayam kedinginan. Tak
sanggup aku melihat wajahnya. Kucoba kugapai dia dengan tanganku tapi tak
sampai. Kupaksakan menggerakkan badanku tapi tidak bisa.
Lalu dia
mengulurkan tangannya dan tangan kami berpenggangan. Sambil mengangis
Christ berkata, "Ma, maafin Abang, ya." Mendengar itu airmataku mengalir
deras dan dadaku berdebar kencang.
Dalam hatiku aku berteriak, "Ini bukan salahmu, Nak. Ini keteledoran Mamamu dan ini ujian untuk kita." Kucoba
menenangkannya. "Abang gak papa, kan?" tanyaku. "Nggak, Ma," jawabnya.
Ketika suamiku datang, air mataku kembali mengalir. Dipeluknya aku
dan digendong Christ anak kami.
Aku berbisi kepadanya, "Bang, aku sudah
lumpuh, Bang." Kulihat dia bingung dan menangis.
Singkat cerita, aku harus dirujuk dan melakoni operasi tulang belakang
akibat patah tulang belakang yang kualami: aku lumpuh, tidak bisa berjalan.
Aku mesti bergantung pada pertolongan orang lain.
Aku yang mestinya
mengurus suami dan anak-anakku, malah harus hidup bergantung pada
pertolongan suami dan anak-anakku dan orang-orang yang berbelas kasihan
padaku.
Air mata menjadi makananku sejak saat itu. Bahkan hingga saat ini, jika
aku teringat pada peristiwa itu, dan pada saat aku menuliskan ini, airmataku tak
berhenti mengalir. Tidak mudah bagiku melewati semua ini.
Aku kehilangan
sebagian anggota tubuhku yang membuatku sampai saat ini tidak bisa berbuat
apa-apa, hanya terbaring. Jangankan mengurus keluargaku, untuk
memiringkan badan ke kanan, ke kiri, tengkurap, sesekali duduk di kursi roda,
semua harus dibantu, semua serba susah.
Kehilangan ini sangat menyedihkan. Aku hancur sehancur-hancurnya.
Aku tak berarti. Aku tak berguna. Aku jenuh. Terkadang terlintas dalam
pikiranku, mengapa Tuhan tidak mengambil nyawaku saja sehingga aku tidak
menjadi beban bagi keluargaku.