Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Dramaturgi Anies Baswedan : Lakon Tanpa Tanggung Jawab

17 April 2017   18:25 Diperbarui: 17 April 2017   18:59 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bagaimana tidak? Anies yang dulu lantang membela pluralisme, seperti yang terekam dalam youtube,[8] justru berbanding terbalik dengan pernyataan-pernyataannya yang memuji kelompok muslim konservatif yang terkenal dengan permusuhan terhadap kelompok keagamaan minoritas (baca: Syiah, Ahmadiyah, dsb.), misalnya rekaman kunjungannya ke maskas FPI di Petamburan[9] atau pengakuannya dalam acara Mata Najwa.[10] 

Apakah Anies pembela pluralisme atau anti-pluralisme? Barangkali jawabannya tergantung pada jaringan kelompok keislaman mana yang mampu mengantarkannya menuju jabatan yang diinginkannnya.

Teater Kepentingan: Tidak Ada Kawan dan Lawan Sejati

Tidak hanya dalam pergulatan pandangan keislaman, berbagai manuver politik Anies juga sering menuai kontroversi, mulai dari keikutsertaannya dalam konvensi Demokrat, mejadi Juru Kampanye Jokowi-JK, hingga maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Ketika Susilo Bambang Yudoyono (SBY) masih menjabat sebagai presiden, Anies pernah mengkritik gaya kepemimpinan SBY yang tidak tegas sehingga memunculkan goncangan dan ketidakpastian politik, dan bahkan menyayangkan sikap SBY yang suka tampil memelas, seperti disampaikannya pada acara Refleksi Akhir Tahun "Rekayasa Indonesia Baru", di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta (29/12/2009).[11] 

Namun, ketika Anies mengikuti konvensi calon presiden yang diselenggarakan Partai Demokrat, sikap kritisnya terhadap SBY pun tidak berlaku; sebaliknya, Anies memuji pemerintahan SBY yang sukses melakukan pemberantasan korupsi secara massif, sebagaimana disampaikannya dalam debat konvensi Partai Demokrat di Jakarta (27/4/2014).[12] Lalu, apakah kepemimpinan dan pemerintahan SBY itu baik atau buruk menurut Anies? Barangkali jawabannya terletak pada kapan dan dimana Anies menyampaikan pandangannya; apakah di lingkungan kampus Paramadina yang disaksikan oleh para intelektual kritis, atau dalam konvensi Partai Demokrat yang ditonton oleh para pendukung SBY? Apa yang ditampilkan diselaraskan dengan keinginan para penontonnya.[13] Begitulah sebuah “dramaturgi”.

Kasus-kasus dramaturgi yang diperankan Anies masih terus berlanjut. Ketika menjadi peserta konvensi Partai Demokrat, Anies mengkritik gaya blusukan Jokowi yang menurutnya hanya pencitraan tanpa memberikan solusi, seperti dinyatakannya kepada awak media di Jakarta (19/12/2013).[14] Namun, setelah kalah dalam Konvensi Partai Demokrat, Anies yang berbalik menjadi juru bicara Jokowi-JK pada Pilpres 2014 serta sering memuji-muji kepemimpinan Jokowi, misalnya pernyataannya bahwa Jokowi adalah orang baik yang dapat diandalkan untuk mengelola pemerintahan,[15] atau kepala daerah yang mampu memahami kondisi rakyatnya dan selalu bekerja keras untuk melakukan perubahan.[16] 

Lalu, apakah gaya kepemimpinan Jokowi itu baik atau buruk menurut Anies? Lagi-lagi, sebuah dramaturgi: para penonton yang berposisi sebagai the significant others[17]dalam konteks tertentu (konvensi Demokrat atau Kampanye Jokowi-JK) menentukan apa yang ditampilkan oleh Anies. Selain itu, ketika menjadi juru kampanye Jokowi-JK, Anies juga sering mengkritik kubu Probowo-Hatta yang menurutnya diusung oleh sejumlah partai politik yang banyak didiami para mafia, seperti kasus haji dan impor daging, sebagaimana dinyatakan Anies dalam konfrensi pers program Jokowi-JK, di Hotel Holiday Inn, Bandung (3/7/2014).[18] Namun, saat ini Anies maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta yang diusung oleh partai politik yang dulu disebutnya sebagai para mafia.

Entah, siapakah Anies? Pengusung pluralisme atau anti-pluralisme? Partai politik dan kepemimpinan seperti apa yang dianggapnya baik dan dibutuhkan rakyat? Mungkin, hanya arah angin perpolitikan yang mampu menjawabnya. Seolah, warga DKI Jakarta tidak perlu menelusuri dinamika politik di masa lalu; warga DKI Jakarta tidak perlu membahas komitmen calon gubernur terhadap nilai-nilai yang diusungnya; warga DKI Jakarta cukup berposisi sebagai penonton teater yang ditampilkan saat ini. Di tingkal daerah, sangat mungkin Anies berposisi sebagai anti-pluralisme dalam menguatkan basis dukungannya menuju kursi gubernur; namun dalam jaringan internasional, Anies lebih mampu menguatkan posisinya sebagai pengusung pluralisme yang sudah lama diasahnya sejak menempuh pendidikan di Amerika. Hari ini menjadi kawan; besok sangat mungkin menjadi lawan. Memang ironis, tapi tidak perlu heran, karena hanya pertunjukan teater.


[1] Anies Baswedan

[2] Anies Rasyid Baswedan. Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory. Journal Asian Survey, Vol. 44 No. 5, September/October 2004, (pp. 669-690). Artikel dapat didownload di

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun