Sementara itu, aktivis yang tergabung dalam sejumlah organisasi di Yogyakarta sendiri telah menggelar aksi tandingan sebagaimana telah disinggung diatas. Mereka mengatasnamakan kemanusiaan. Mengecam semua pihak yang menebar kebencian dengan cara anti-LGBT. Lantas yang menjadi pertanyaan penulis saat ini, benarkah mereka --aktivis pro-LGBT-- itu memang berangkat dengan misi mulia bernama: kemanusiaan? Sementara dalam media sudah gencar pemberitaan mengenai sokongan dana LGBT dan juga sumbernya.
Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, Senin (15/2/16), mengatakan bahwa penggelontoran dana LGBT di Indonesia merupakan sebuah proyek UNDP (United Nations Development Programme) yang didukung Kedubes Swedia di Bangkok, Thailand, dan lembaga pendanaan AS, USAID. Masuknya pembiayaan itu sendiri ditengarai melalui NGO (Non-Government Organization) yang ada di tanah air.
Bahkan laman resmi UNDP memaparkan sejumlah tujuan penggelontoran dana tersebut, antara lain untuk membangun dan memberdayakan masyarakat agar mengetahui hak-haknya. “Selain itu, agar LGBT memiliki akses hukum,” demikian uraian UNDP. Kasus Bettel diatas membentuk konstruk baru, bahwa LGBT memang benar-benar proyek liberalis. Kalaupun bukan Bettel sendiri yang berperan dalam hal ini, --atau bahkan tidak sama sekali--, tentu para kolega-liberalisnya yang jadi tumpuan. Katakanlah Bettel sebagai gambaran, bagaimana gay merupakan sebuah hak yang harus dilindungi. Hingga lahirlah komunitas proyek UNDP bernama: LGBT.
Lantas masihkah menganggap pihak-pihak --atau katakanlah aktivis-- yang getol menyuarakan pembelaan kemanusiaan terhadap LGBT itu sebagai superhero? Mengetahui persoalan ini, seorang bocah 14 tahun pun mungkin akan berteriak, “Hei, NONSES!”
***
Pertanyaan kedua, bagaimana melihat LGBT dalam koridor Pancasila? Mengingat empat negara yang menjadi target dari program garapan UNDP ini, yakni Indonesia, Filipina, Thailand, dan Cina. Indonesia sendiri merupakan negara dengan ideologi Pancasila, yang didalamnya terdapat prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Akan menjadi konyol apabila melihat polemik mengenai LGBT hanya dalam sudut pandang kemanusiaan. Selain itu, pembelaan hak dalam kasus LGBT ini juga akan mempersempit --bahkan mereduksi-- Pancasila itu sendiri sebagai ideologi bangsa.
Penulis tentu tak ingin menduga-duga bahwa aktivis pro-LGBT di atas ikut menikmati gelontoran dana UNDP. Kalaupun benar misi kemanusiaan itu bukan sekedar legitimasi, tentu kita juga tak lupa dengan prinsip Ketuhanan dalam sila pertama, bukan? @BURSTomi
4 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H