Mohon tunggu...
Busthomi Dipantara
Busthomi Dipantara Mohon Tunggu... Mahasiswa-Freelancer -

Satu dari sekian pemuda yang masih percaya akan kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Airlangga dan Delapan Pedoman Sang Pemimpin

7 Maret 2016   16:34 Diperbarui: 7 Maret 2016   18:54 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Raja Airlangga"][/caption]

Pesta Perkawinan

Berawal dari kisah kasih antar saudara sepupu -yang memang telah direncanakan perjodohan sebelumnya, Airlangga dan Dyah Sri Laksmi tengah berbahagia dalam belaian pesta perkawinan mereka. Perhelatan itu dilaksanakan di Tawmlang, ibukota Kerajaan Medang secara besar-besaran dan terbuka. Semua pembesar kerajaan, "abdi dalem" istana, prajurit dan bahkan rakyat umum pun dipersilahkan ikut serta dalam pesta tersebut. Setiap orang yang hadir disuguhi makanan, minuman, dan hiburan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Semua menjadi terlena dalam suasana suka cita tersebut. Mengingat pesta yang memang digelar secara terbuka dan umum, penjagaan istana pun sedkit longgar. Hal itu dilakukan karena sang empunya hajat ingin menyambut semua tamunya dengan hangat dan tanpa formalitas khas kerajaan. Namun demikian, alih-alih membuat khidmat pesta, justru mengundang musibah tak terduga bagi kerajaan Medang.

 

Penyerangan Sepihak Kerajaan Wora-Wari

Rencana perhelatan besar tersebut sudah tercium sejak lama oleh Raja Sriwijaya. Ia pun segera mencari celah untuk menjatuhkan Medang. Syahdan, longgarnya penjagaan istana Medang menjadi pilihan. Hal itu dimanfaatkannya untuk membalaskan dendam lama atas penyerangan Medang terhadap Sriwijaya. Lantas Raja Sriwijaya memerintahkan Kerajaan Wora-Wari sebagai sekutunya, untuk menyerang Kerajaan Medang ditengah pesta perkawinan Airlangga. Segala persiapan telah dilakukan. Menyusun strategi penyerangan, melatih sejumlah pasukan, serta menyediakan sejumlah perbekalan.

Hingga sampailah pada waktu yang ditunggu-tunggu, yakni kelengahan penjagaan istana saat pesta berlangsung. Penyerangan Wora-Wari dilakukan secara cepat dan sepihak. Tanpa ada persiapan dari pihak Medang sebagaimana perang pada umumnya. Istana, balairung, bahkan dapur yang terbuat dari kayu pun dengan mudahnya terbakar oleh sulutan api pasukan Wora-Wari. Dalam keadaan terdesak itu, beberapa prajurit Medang yang melakukan perlawanan pun dengan mudahnya ditumpas lawan.

 

Sisa Penyerangan: Pelarian Tiga Orang

Segalanya tumpas dalam penyerangan tersebut. Hanya tersisa tiga orang yang berhasil menyelamatkan diri. Diantaranya ialah sepasang pengantin, Airlangga dan Dyah Sri Laksmi, serta seorang pengikutnya, yaitu Narotama. Mereka masuk dalam pintu rahasia istana dan bersembunyi dalam lorong bawah tanah yang hanya diketahui oleh Dyah Sri Laksmi dan ayahnya, Dharmawangsa. Didalam lorong tersebut, terdapat jalan yang tak satupun mereka tahu dimana ujungnya. Berbekal obor yang memang disediakan, ketiganya menyusuri jalan disepanjang lorong bawah tanah itu. Berhari-hari lamanya perjalanan bawah tanah itu berlangsung. Tak secuil pun makanan mereka temui. Untuk sekedar bernafas pun terasa pengap karena sedikitnya kadar oksigen. Bahkan mereka tak bisa membedakan waktu siang dan malam. Yang mereka lakukan hanyalah berjalan diantara tajamnya bebatuan yang melukai tubuh mereka.

Sampai pada suatu hari, ujung lorong itu mulai terlihat dengan adanya titik-titik pancaran sinar. Semangat mereka sedikit pulih melihat tanda-tanda kehidupan diatas mereka. Dengan sesegera mungkin mereka menyelesaikan perjalanan bawah tanah mereka. Dan sampailah mereka diujung lorong bawah tanah itu, yang tak lain ialah sebuah pohon besar dengan akar-akar yang menutupi ujung lorong tersebut. Pohon itu terletak ditengah hutan belantara. Dan pada saat itu juga barulah mereka sadar bahwa hari telah malam. Hanya rembulan yang menjadi penerang malam itu. Sejenak mereka beristirahat, mencari makanan seadanya; umbi-umbian, akar-akar tanaman yang lunak, hingga bermacam dedaunan. Tak jarang dari mereka harus memuntahkan kembali makanan-makanan tersebut karena rasanya yang tidak enak. Setelah merasa cukup untuk mengganjal perut, yang jauh dari rasa kenyang tentunya, mereka putuskan untuk meneruskan perjalanan malam. Selain takut akan kejaran pasukan Wora-Wari, tampaknya sinar rembulan saja sudah cukup untuk menerangi perjalanan mereka. Mereka terus berjalan, tanpa tahu arah mata angin. Hingga matahari terbit, barulah mereka mengerti posisi matahari dan arah mata angin. Selama perjalanan di hutan belantara itu, mereka harus bertahan hidup dari alam, tanpa perbekalan apapun. Dan entah kenapa, binatang buas pun tak pernah menggangu perjalanan mereka.

Beberapa kali mereka singgah di padepokan, namun tak satupun padepokan yang sesuai dengan nurani mereka. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah padepokan yang asri. Beberapa cantrik menyambut kedatangan mereka dengan sangat ramah. Sepertinya pemilik padepokan memang telah mengetahui akan datangnya ketiga orang tamunya itu. Pemilik padepokan tersebut ialah Mpu Kanwa, -yang ternyata masih memiliki hubungan kerabat dengan Airlangga. Dan sejak hari itu, mereka bertiga resmi berguru pada Mpu Kanwa. Mereka, terutama Airlangga, yang diyakini sang guru mempunyai "wahyu keprabon", mendapat pengajaran secara rutin.

Sang guru tampaknya sengaja mempersiapkan Airlangga sebagai pemimpin di hari mendatang. Berbagai teori kepemimpinan diajarkan. Lebih dari itu, Airlangga diajarkan teori kepemimpinan berdasarkan watak alam. Mpu Kanwa menyebut teori itu dengan nama: "Asto Broto".

Secara harfiah Asto Broto berarti 8 (delapan) laku/perbuatan. Asto Broto sendiri ialah temuan asli Mpu Kanwa, orisinil dan bukan hasil plagiasi atau apapun. Merupakan suatu pedoman yang menggambarkan 8 manifestasi Tuhan Yang Maha Esa di alam semesta ini. Asto Broto ialah satu kesatuan. Harus dimiliki dan dilaksanakan secara bersama-sama, tidak berdiri sendiri satu sama lain. Mengajarkan kepada setiap pemimpin agar selalu berpikir, berbuat dan beraksi semata-mata untuk rakyat tanpa ada kepentingan apapun. Melalui 8 pedoman inilah, Mpu Kanwa menaruh harapan kepada Airlangga, agar benar-benar menjalankan ajaran tersebut apabila telah menjadi pemimpin kelak.

Pengajaran "Asto Broto" dilakukan setiap malam selama berbulan-bulan. Adapun 8 elemen Asto Broto yang diajarkan Mpu Kanwa kepada Airlangga adalah sebagai berikut:

1. Ambeging bhumi,
2. Ambeging banyu,
3. Ambeging agni,
4. Ambeging angin,
5. Ambeging suryo,
6. Ambeging condro,
7. Ambeging kartiko,
8. Ambeging dahono.

Airlangga sangat bersungguh-sungguh dalam mempelajari ajaran tersebut. Satu per satu elemen Asto Broto itu diresapi maknanya, disesuaikan dengan wataknya sendiri.

 

Kepemimpinan Airlangga

Atas dasar pengetahuan dan pengalaman hidupnya, Airlangga merasa bahwa dirinya telah mampu menjadi seorang pemimpin. Ia benar-benar sudah siap meski usianya baru sembilan belas tahun. Dalam memulai kepemimpinannya, Airlangga berusaha membangun kembali Kerajaan Medang dari sisa-sisa reruntuhan penyerangan yang telah lalu. Airlangga melakukannya dalam 3 fase, yaitu fase konsolidasi, fase keemasan, dan fase pemerintahan.

Fase konsolidasi ialah masa perjuangan Airlangga dalam rangka menegakkan kembali hegemoni kerajaan. Dimulai dengan pengumpulan rakyat-rakyat Medang yang akan dipimpinnya, hingga pengumpulan kerajaan-kerajaan vasal yang menjadi bawahan Kerajaan Medang sebelumnya. Namun, dalam upaya ini Airlangga tidak dengan mudahnya mendapatkan apa yang ia harapkan. Pasca penyerangan atas Medang, Wora-Wari lantas menguasai wilayah kerajaan itu. Hal itu menjadi celah bagi sejumlah kerajaan vasal untuk melepaskan diri dari cengkeraman Medang yang telah dikuasai Wora-Wari. Bahkan beberapa diantaranya enggan untuk menyerahkan upeti sebagai kewajibannya kepada Medang.

Meskipun Airlangga telah berhasil merebut kembali wilayah Medang dari Wora-Wari, ia tetap mendapat penolakan dari kerajaan-kerajaan vasal yang tak lagi setia. Bahkan mereka menganggap rendah Airlangga yang masih berusia sangat muda dan belum teruji kemampuannya. Sehingga kerajaan-kerajaan tersebut enggan tunduk kembali kepada Kerajaan Medang dibawah kekuasaan Airlangga saat itu. Kerajaan Wengker misalnya, yang telah menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya, semasa dibawah Kerajaan Medang. Hal inilah yang memicu adanya pertempuran pasukan Medang terhadap beberapa kerajaan. Peperangan terjadi beberapa kali, kemenangan pun didapat atas kerajaan-kerajaan kecil, namun hanya kerajaan Wengker yang mampu mengalahkan pasukan Medang. Dua kali peperangan dengan kerajaan Wengker membawa kekalahan telak. Pada akhirnya, Airlangga menyusun siasat untuk menyerang kerajaan-kerajaan yang menjadi kerabat dari kerajaan Wengker. Hal ini sangat berpengaruh terhadap mental kerajaan Wengker. Hingga pada peperangan ketiga, pasukan Medang berhasil mengalahkan Wengker.

Kedua, ialah fase keemasan, dimana Kerajaan Medang dalam masa damai tanpa ada peperangan. Keadaan semacam ini dimanfaatkan Airlangga untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Ia memulainya dengan perbaikan pada aspek ekonomi, yang dianggap lebih krusial dan kunci dari kehidupan rakyat. Airlangga beranggapan, jika perekonomian negara baik pasti akan membawa dampak positif terhadap tiga aspek lainnya, yaitu aspek politik, aspek agama, dan aspek sosial.

Ketiga, ialah fase pemerintahan, sebuah masa dimana Airlangga membawahi pemerintahan Medang. Penderitaan yang telah dialaminya, telah mempertajam akal dan nurani Airlangga sebagai Raja. Sehingga ia paham betul dengan keadaan rakyat sebenarnya. Oleh sebab itu, sentral perhatian Airlangga hanyalah semata tertuju pada kemakmuran rakyat. Dan menurut catatan sejarah, Kerajaan Medang menjadi lebih gemilang ketika puncak pimpinan dipegang oleh Airlangga. Setiap bidang kehidupan maju dengan pesat. Rakyat hidup makmur, murah sandang, murah pangan. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Airlangga berhasil mengangkat nama Medang, dari lembah kehancuran keatas permukaan yang cemerlang dan mengagumkan banyak orang, tidak hanya di Jawa, tetapi sampai ke mancanegara. Selain itu, Airlangga juga membuat dirinya sebagai salah satu raja besar dalam sejarah Indonesia kuno.

Asto broto begitu melekat dan menyatu dengan dirinya dan sangat berpengaruh dalam setiap kebijakan yang diambilnya.

 

Raja Pembaharu

Airlangga juga dengan berani mengambil tindakan-tindakan yang belum pernah dilakukan oleh raja-raja pendahulunya. Ia kerap dijuluki sebagai raja pembaharu, karena tabiatnya yang melebihi jamannya, out of the box. Namanya bahkan menjadi besar tanpa melakukan ekspansi. Inilah relevansi sosok pemimpin yang memang dibutuhkan. Airlangga, raja besar di kerajaannya yang tidak besar. []

 

13 Oktober 2015

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun