Mohon tunggu...
Busthomi Dipantara
Busthomi Dipantara Mohon Tunggu... Mahasiswa-Freelancer -

Satu dari sekian pemuda yang masih percaya akan kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tragedi '65 dan Kemelut Sejarahnya

2 Oktober 2015   18:57 Diperbarui: 2 Oktober 2015   22:24 2638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Source: intelektualkiri.blogspot.com][/caption]

 

Polemik Tahunan, Tragedi Kemanusiaan yang Tak Kunjung Padam

[caption caption="Pemberitaan tentang G30S pada portal berita online, merdeka.com"]

[/caption]

Dalam 3 hari terakhir, berbagai media dipenuhi pemberitaan tragedi 1965. Dari media elektronik, cetak, online, hingga citizen journalism seperti Kompasiana juga tak ketinggalan untuk menjadikan tragedi 1965 sebagai topik pilihan. Genapnya 50 tahun tragedi 1965 menjadi lebih hangat dibicarakan. Terlebih dengan adanya wacana pemerintah untuk menyampaikan permintaan maaf pada keluarga PKI dan Gerwani. Beberapa pihak cepat-cepat merespon wacana tersebut. Namun akhirnya wacana itu hanya sekedar isu yang disebarkan oleh oknum yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini juga yang dikatakan oleh Sekretaris Kabinet maupun Presiden Joko Widodo sendiri, bahwa isu itu tidak benar. Namun, masalah tidak selesai begitu saja. Beberapa pihak masih mempersoalkan “luka sosial” yang hingga kini dialami keluarga korban tragedi 1965 maupun soal lainnya. Hal ini memicu beberapa pihak untuk mengusulkan perlunya rekonsiliasi terkait tragedi 1965.

 

Muara G30S: Pembunuhan Massal dan 32 Tahun Kediktatoran

Memang tragedi 1965 masih menyisakan banyak hal. Dalam beberapa sumber, tragedi 1965 diawali dengan beredarnya isu tentang Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta. Isu tersebut segera ditanggapi beberapa pimpinan PKI yang kemudian membentuk Biro Khusus. Disusul peristiwa penculikan 7 jenderal yang dianggap hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Namun aksi yang dilakukan oleh G30S (Gerakan 30 September), atau menurut Bung Karno Gestok (Gerakan 1 Oktober) itu tidak terencana dengan matang. Hingga gerakan pun kacau dan kebingungan. Sehingga saat pemberitaan bahwa 7 jenderal tersebut telah mati terbunuh, segera saja Suharto memanfaatkan situasi dan menjadikan aksi tersebut sebagai “legitimasi” untuk menyusun rencana penumpasan PKI. Dalam pertumpahan darah terburuk di abad kedua puluh ini, jutaan manusia dibantai oleh Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya. Pembantaian yang dilakukan sangat beragam cara. Belakangan beberapa situs menayangkan karikatur-karikatur yang menggambarkan kekejaman pembantaian PKI. Bahkan di kampung halaman penulis, beberapa anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya disembelih layaknya binatang.

[caption caption="Korban pembantaian dimasukkan dalam lubang secara berjajar untuk memudahkan eksekusi"]

[/caption]

[caption caption="Korban dalam keadaan terikat di leher masing-masing"]

[/caption]

Selain itu, pada masa kekuasaannya Rezim Suharto juga menanamkan kesadaran publik bahwa PKI telah melakukan kejahatan besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pemutaran film-film “wajib” seperti Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI (1984), pembangunan Monumen Pancasila Sakti dan Museum Pengkhianatan PKI, serta penerbitan buku-buku sejarah sekolahan. Semua itu dilakukan hanya sebagai “pelajaran moral sederhana”: bahwa PKI bersifat anti nasional, anti agama, agresif, haus darah, dan sadis. Semua itu tidak menawarkan penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang kepemilikan pribadi dan kapitalisme, tidak ada sejarah mengenai sembangsih PKI dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani secara damai. “Kekerasan budaya” semacam ini dirancang untuk meyakinkan masyarakat tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap komunisme, khususnya PKI di tengah kehidupan berbangsa.

 

Dipa Nusantara, Keberanian diujung Senapan

Beberapa sejarawan seperti John Rossa mengatakan, bahwa apapun alasannya, pembantaian semacam itu tidak dapat dibenarkan. Karena gerakan 30 september bukanlah gerakan partai secara komprehensif, melainkan hanya dilakukan oleh oknum pimpinan PKI dg membentuk Biro Khusus. Namun Suharto yang pada akhirnya melakukan perebutan kekuasaan telah memanfaatkan pembunuhan 7 jenderal sebagai dalih pembunuhan massal.

[caption caption="Gaya pidato D.N. Aidit saat di depan massa"]

[/caption]

Sehingga, alih-alih mengadili oknum-oknum yang memang terlibat, Angkatan Darat waktu itu, dibawah komando Suharto dengan bringas dalam melakukan pembantaian. Bersamaan dengan aksi pembantaian, beberapa tim juga dibentuk guna mengejar beberapa pimpinan PKI. Aidit misalnya, lantaran kemelut Jakarta akibat aksinya yang gagal, kemudian berkeliling ke beberapa kota di Jawa Tengah.

Setelah beberapa saat melakukan koordinasi dengan pengurus PKI daerah, Aidit lantas mencari tempat untuk bersembunyi. Beberapa waktu kemudian, salah seorang tokoh PKI ditangkap dan dipaksa menunjukkan tempat persembunyian Aidit. Segera saja Aidit ditangkap oleh pasukan Brigade Infantri IV Kostrad. Aidit sempat menggertak pasukan dan menyatakan bahwa dirinya ialah Menteri Koordinator, lantas pada masa penangkapan itu Aidit masih diperlakukan dengan cukup baik. Bahkan Aidit sempat meminta untuk dipertemukan dengan Presiden Sukarno untuk menyerahkan dokumen pengakuan yang telah ia dibuat. Permintaan itu ditolak dan keesokan harinya, Aidit digiring ke sumur tua di belakang Markas Angkatan Darat di Boyolali.

Di tepi sumur, Letnan Yasir memintanya untuk mengatakan pesan terakhir sebelum eksekusi dilakukan. Namun, dengan penuh keberanian, alih-alih berucap pesan terakhir, Aidit malah berpidato berapi-api layakanya diatas mimbar. Yasir dan anak buahnya lantas geram dengan tingkah Aidit dan segera melepas pelurunya. Berondongan peluru pun mengkhiri hidup Dipa Nusantara Aidit. Dengan dada berlubang, tubuh gempal Menteri Koordinator sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur. []

 

Tulisan ini dibuat oleh salah seorang pemuda yang sempat mengenyam pendidikan di sekolahnya tentang sejarah yang telah dibengkokkan oleh Rezim Diktator SUHARTO.

Sebagai penutup, penulis ingin mengutip tulisan Soebandrio: “Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama ini. Pecahkan kebungkaman!”

 

Bacaan:

John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal

Soebandrio, Kesaksianku Tentang G30S

Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965

Seri TEMPO, Biografi D.N. Aidit

 

Ruang Refleksi, 2 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun