Kita dapat belajar dari Pemilu 2014 dan 2019, di mana rakyat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kubu dalam kurun waktu cukup panjang. Termasuk tragedi Pilkada Sampang, pasti akan meninggalkan trauma sosial yang mendalam. Pada akhirnya, rakyat menjadi korban karena isu yang dimainkan oleh para elit tertentu untuk mendapatkan kemenangan semata.
Cermin Kedewasaan Berpolitik
Terus terang, peristiwa penganiyaan di Sampang hingga menewaskan satu orang warga adalah cermin bahwa masyarakat Indonesia sebagian belum cukup dewasa dalam berpolitik. Bukan hanya warga biasa, tapi juga para elit yang ikut berkontestasi dalam helatan Pilkada.
Sebab mereka tidak mampu mengedukasi para pendukungnya agar berkampanye secara baik dan riang gembira, apalagi sampai melakukan pencegahan untuk tidak melakukan anarkisme, mengintimidasi dan memecah belah persatuan.
Secara otomatis juga belum sepenuhnya memahami makna dari demokrasi itu sendiri, yakni memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menyampaikan aspirasinya tanpa ada paksaan, ancaman dan penjegalan.
Dalam konteks Pilkada, siapapun bebas memilih kandidat pilihannya sesuai dengan hati nurani masing-masing dan hal ini dilindungi oleh undang-undang. Para kontestan Pilkada beserta seluruh timnya dilarang keras untuk memaksakan kehendak mereka agar masyarakat memilih dirinya dengan cara apapun, baik kekerasan fisik maupun psikologis.
Pada saat bersamaan, masyarakat juga diminta untuk tidak mudah terprovokasi dengan narasi yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, tidak muda tersulut emosi serta lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Pada titik inilah edukasi politik itu penting, bukan hanya bagi masyarakat sebagai pemilih atau pendukung, akan tetapi para elit yang menjadi bagian penting dari para kontestan Pilkada itu sendiri. Jadi, kedewasaan berpolitik seseorang sebenarnya dimulai dari para elit, baru kemudian ke masyarakat bawah. Â
Belajar dari Pilkada Sampang
Bagaimanapun dan sampai kapanpun, peristiwa Pilkada Sampang ini harus menjadi pelajaran bagi semuanya, supaya tidak terulang kembali di kemudian hari. Kita dapat membayangkan jika keluarga dari korban atau sesama pendukung yang ada di barisan korban kemudian balas dendam, niscaya akan ada konflik horizontal lebih besar dan berkelanjutan.
Pertama, hentikan menggunakan isu primordial seperti suku, ras, agama, status sosial dan isu sensitif lainnya dalam upaya meraih kemenangan Pilkada. Sebab, yang menjadi korban utama adalah rakyat biasa yang tidak tahu tentang politik para elit.