Sederhananya, baik proses politik maupun media sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Politik butuh jasa media untuk kepentingan kampanye, sosialisasi partai dan pencitraan seorang kandidat. Pada waktu bersamaan, media juga butuh pesanan agenda politik supaya bisa mengasapi dapur produksinya dan menghidupi para pekerjanya.
Lebih jauh, justru media termasuk kunci sekaligus pemegang kendali ke mana perubahan itu diarahkan. Sebagaimana dikatakan Sibert bahwa pers merupakan kekuasaan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif karena acapkali tiga kekuasaan ini meminta bantuan kepada pers untuk mengalirkan kekuasaannya kepada publik. Â
Kenyataan ini semakin meneguhkan pemilu 2024 ini juga tidak terlepas dari peran serta media dalam memenangkan para konstestan pemilu. Dalam arti lain, pemenang pemilu adalah orang yang menguasai media itu sendiri. Tentu, secara pasti kita belum mengatahui siapa pemenang pilpres kali ini, apakah Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran atau Ganjar-Mahfud.
Kita juga belum bisa memastikan apakah kemenangan John F. Kennedy, Barack Obama dan Joko Widodo melalui media bisa terulang kembali pada kontestasi pilpres kali ini. Apa mungkin Gibran menjadi Kennedy berikutnya, Anies bernasib sama seperti Obama versi Indonesia atau Ganjar melanjutkan Jokowi? Takdir masih di tangan Tuhan dan hanya Dia yang tahu. Â
Yang jelas, ketiga paslon ini sedang memanfaatkan media demi meraup keuntungan, meraih simpati serta mendongkrak popularitas masing-masing. Namun, secara kasat mata kita dapat mengetahui paslon mana yang mendominasi serta menguasai media. Dalam kasus tertentu, kita juga bisa menduga media mana yang cenderung berpihak pada paslon tertentu.
Di lain sisi, media saat ini juga sedang kebanjiran pesanan. Para caleg atau capres dan bahkan partai yang memasang iklan di televisi, radio, media online dan sosial agar cepat dikenal oleh masyarakat secara luas. Seperti mendapatkan durian runtuh, hampir semua kontestan pemilu rela membayar hingga miliaran rupiah supaya bisa tayang di jam-jam tertentu.
Kabar buruknya, dalam situasi seperti sekarang ini, media juga bisa menjadi alat pembunuh paling mematikan bagi para kontestan pemilu. Melalui kata-kata, kalimat, gambar dan video, media bisa menjatuhkan pihak tertentu dalam sekejap mata. Tergantung pengguna jasanya, mau mengangkat citra atau menjatuhkan lawan politiknya.
Mensukseskan Gelaran Pemilu
Sebagaimana sudah dijelaskan diawal, bahwa hampir pasti pemilu tidak dapat menanggalkan media dan begitu jua sebaliknya. Media harus menjadi mitra strategis penyelenggaran pemilu supaya bisa melakukan kontrol sosial sebagaimana fungsinya. Bahkan, media bisa menjadi penentu suksesnya pemilu yang diselenggarakan secara jujur, adil dan transparan.
Harapan besarnya pers bisa menjadi jembatan antara kontestan dengan konstituen, menjadi penyambung antara pemilu dan pemilih. Pers bisa menjadi pencerdas dan pencerah pemilih, membangun pemahaman masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik melalui pesta demokrasi dengan berusaha meningkatkan jumlah partisipasi pemilu.
Tingginya angka golput pada pemilu sebelumnya menjadi catatan penting, pertama tentu bagi pemerintah dan penyelenggara. Kedua, bagi pers itu sendiri sebagai pilar keempat kekuatan demokrasi Indonesia. Melalui beragam sajian menu terkait pemilu, harapannya bisa mengusik dan menyadarkan masyarakat untuk ikut mensukseskan pemilu.