Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Disinformasi, Ancaman Nyata Pemilu 2024

14 Januari 2024   05:18 Diperbarui: 15 Januari 2024   05:39 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu ancaman terbesar pelaksanaan pemilu 2024 kali ini adalah maraknya disinformasi, penyebaran berita palsu atau hoaks melalui platform digital. Mengancam, karena hal ini dapat merusak serta mengacaukan sendi-sendi demokrasi, memperkeruh suasana, menyesatkan konstituen dan merusak citra sekaligus integritas proses politik.

Penyebaran berita bohong dan berita dengan judul clickbait (menipu) bukan hanya mewarnai tapi juga membanjiri proses pemilu, dan sayangnya, 42 persen masyarakat Indonesia menurut Menkominfo, Budi Arie, percaya pada disinformasi tersebut. Dalam arti lain, saking masifnya penyebaran disinformasi soal pemilu sehingga masyarakat menganggap bahwa informasi itu merupakan sebuah kebenaran.

Tentu saja kaget, bagaimana bisa jumlahnya sampai sebesar itu. Dapat disimpulkan bahwa, masyarakat Indonesia bukan kekurangan informasi mengenai pemilu, tetapi lemahnya literasi pada informasi pemilu itu sendiri. Dugaan saya, semua informasi yang masuk melalui media ditelan mentah-mentah tanpa melalui proses seleksi terlebih dahulu.  

Saya teringat pada mantan Kanselir Jerman, Joseph Goebbles, dia pernah mengatakan begini, "Ulangilah kebohongan sesering mungkin maka dia akan menjadi kebenaran." Ungkapan ini kemudian dikenal sebagai hukum propaganda dan banyak diadaptasi oleh orang-orang di dunia politik serta media. Dalam istilah psikologi ini disebut dengan efek ilusi kebenaran, kecenderungan mempercayai informasi yang salah karena efek pengulangan.

Publik percaya disinformasi tersebut karena seringnya mendengar, membaca atau melihat sampai pada akhirnya merasa sudah tidak asing lagi atau akrab dengan berita yang diterima. Bila sudah akrab, secara otomatis otaknya akan menerjemahkan keakraban tersebut sebagai sebuah kebenaran, terlebih bila tidak mendapatkan informasi pembanding sama sekali atau menutuo diri terhadap informasi yang berlawanan.

Selain hukum propaganda dan efek ilusi kebenaran, ada lagi istilah yang seringkali digunakan dalam dunia politik, yakni Asap dan Cermin. "Asap dan cermin" adalah trik yang digunakan para politisi untuk mengaburkan kebenaran, biasanya melalui gangguan, penyesatan, atau sebagian kebenaran. Taktik ini juga dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari fakta-fakta yang tidak menyenangkan.

Dalam konteks pemilu Indonesia, nampaknya ketiga istilah ini digunakan semua. Seakan-akan Joseph Goebbles terlahir kembali lalu meneriakkan kalimat propagandanya melalui tim sukses serta media massa. Berita bohong terus diproduksi untuk mendiskreditkan lawan politik dan pada saat yang sama hendak menutupi kebobrokan dirinya.

Soal menutupi atau mengaburkan fakta dan kebenaran, dapat kita buktikan dari argumen para politisi saat ini. Mereka yang sebelumnya membenci tetiba memuji sekaligus membela habis-habisan kandidat yang diusung. Padahal, jejak digitalnya belum terhapus dan masih terus ada sampai saat ini. Dengan sengaja atau terpaksa menyesatkan orang lain melalui informasi yang ditutupi kebenarannya.

Termasuk juga, iklan-iklan kampanye atau debat capres dan cawapres yang baru-baru ini dilakukan tampaknya lebih bersifat asap dan cermin dibandingkan diskusi substantif mengenai kebijakan, visi-misi dan program, yang bertujuan untuk mengaburkan kelemahan diri sendiri dibandingkan menjelaskan posisi mereka. Seolah-olah menawarkan kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran untuk bangsa dan negara, padahal hanya gimik belaka.

Ilustrasi berita palsu melalui berbagai platform | freepik/macrovector
Ilustrasi berita palsu melalui berbagai platform | freepik/macrovector

Kembali pada Literasi

Dampak terbesar dari disinformasi adalah ketidakpastian dalam pengambilan keputusan pemilih. Informasi yang salah atau bias dapat mempengaruhi opini masyarakat dan membuat mereka mengambil keputusan yang tidak didasarkan pada fakta. Ini bukan hanya ancaman terhadap integritas pemilihan, tetapi juga fondasi dasar demokrasi yang bergantung pada partisipasi informasional dan pemilihan rasional.

Selain itu, disinformasi dapat memperdalam perpecahan dan polarisasi. Kelompok-kelompok yang terpolarisasi cenderung menerima informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, memperlebar kesenjangan pemahaman antar kelompok, terutama masyarakat kalangan bawah. Hal ini menciptakan lingkungan di mana dialog konstruktif menjadi sulit, yang pada gilirannya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Masalahnya bukan hanya masyarakat bawah atau akar rumput yang menjadi korban, justru paling dominan adalah orang terdidik dan terpelajar. Lebih mengerikan lagi, disinformasi ini tidak mengenal batas usia, semua disasar dan menjadi korban disinformasi itu sendiri. Mulai dari anak SD sampai dengan gelar akademik tertinggi tidak luput dari target operasi.  

Ini menambah kerumitan dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang mengancam kesakralan serta integritas pemilu. Dapat dibayangkan bagaimana cara mengatasi kalangan terdidik yang percaya pada disinformasi, sementara mereka dianggap orang yang mempunyai kemampuan untuk menyaring informasi salah dan benar. Belum lagi anak-anak atau remaja yang sudah sejak kecil terpapar disinformasi ini.

Harus kita akui, media sosial menjadi saluran utama penyebaran disinformasi perihal pemilu ini. Masing-masing kandidat melalui para pendukungnya saling serang menggunakan berita palsu untuk mendeskreditkan lawan politiknya. Pada saat yang sama, algoritma media sosial sering kali memperkuat gelembung informasi, membuat pengguna terjebak dalam ekosistem yang hanya memperkuat pandangan mereka sendiri.

Solusi untuk mengatasi bencana disinformasi ini tidak lain kecuali peningkatan literasi media. Rendahnya tingkat literasi informasi menyebabkan masyarakat menjadi rentan terhadap propaganda politik dan disinformasi. Dalam hal ini, literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga keterampilan kritis untuk menganalisis, memahami, dan menilai informasi dengan bijak.

Kampanye penyuluhan tentang cara mengenali dan menghindari disinformasi melalui seminar lokakarya dan lain sebagainya harus semakin digencarkan. Ini dilakukan bukan hanya oleh para pemerhati, praktisi, atau organisasi namun, pemerintah juga perlu turun tangan mengedukasi masyarakat perihal pentingnya literasi media.

Lembaga pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus dan prioritas utama dalam upaya peningkatan literasi media. Pasalnya, para pelajar dan mahasiswa merupakan pengguna aktif media sosial dan otomatis menjadi sasaran utama para pendengung kebencian. Ini demi masa depan Indonesia yang lebih berperadaban, memastikan generasi mudanya memiliki tingkat literasi media yang tinggi serta menjungjung tinggi kejujuran.  

Berikutnya adalah media sosial itu sendiri, wadah dimana semua bentuk disinformasi itu diproduksi dan disebarluaskan. Maka, kerjasama dengan platform media sosial juga tidak dapat dihindari. Mengidentifikasi dan menghapus konten palsu, peningkatan algoritma untuk mengurangi penyebaran disinformasi, bersama dengan transparansi dalam pengaturan konten, dapat membantu meredam efek disrupsi yang disebabkan oleh informasi palsu.

Terakhir adalah penegakan hukum dari pihak berwenang. Bagi siapa saja yang membuat dan menyebarkan disinformasi atau berita palsu tertait pemilu 2024 harus ditindak dan dipidana, supaya menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Selebihnya, ketegasan pemerintah dalam hal ini menkominfo untuk memblokir akun-akun atau situa-situs penyebar disinformasi pemilu termasuk juga provider aplikasi media sosial yang melakukan pembiaran.

Sekali lagi, penyebaran disinformasi ini menjadi ancaman nyata bagi pemilu 2024. Ancaman bagi para kandidat, rakyat dan negara Indonesia seutuhnya. Sebagaimana disebutkan diawal, disinformasi ini dapat menimbulkan chaos serta menyesatkan pemilih, melahirkan polarisasi dan perpecahan sesama anak bangsa.   

Oleh karenanya, tantangan disinformasi dalam pemilu 2024 tidak boleh dianggap enteng. Semuanya harus mau menahan diri untuk tidak terlibat dalam proses pembuatan dan atau penyebaran berita palsu terkait pemilu.  Sembari menggali akar permasalahan dan merancang solusi yang berfokus pada peningkatan literasi, kerjasama lintas sektor, penegakan hukum dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita dapat mengatasi hantu disinformasi serta mampu menghadirkan panggung pemilihan umum yang lebih kuat dan bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun