Pelakor dan Pebinor, dua istilah ini sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam kamus kehidupan masyarakat Indonesia. Pelakor (perebut laki orang) adalah perempuan yang merebut suami orang. Sementara Pebinor (perebut bini orang) adalah laki-laki yang merebut isteri orang. Jadi, kedua jenis manusia ini memang ada sejak dahulu kala hingga saat ini. Perkerjaan utamanya mengganggu dan atau merebut suami atau isteri orang lain menjadi suami atau isterinya.
Buktinya? Maraknya kasus perselingkuhan yang terekam dan terekpos di media akhir-akhir ini adalah bukti nyata kalau pelakor dan pebinor itu memang ada. Sebenarnya, kasus seperti ini bukanlah fenomena baru dalam kehidupan masyarakat, bukan saja Indonesia tapi juga dunia seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Hanya saja, kasusnya semakin heboh dan viral karena tersebar melalui media sosial dan mendapatkan respon luar biasa.
Kasus ini membuat was-was banyak kehidupan rumah tangga, bukan hanya para wanita atau isteri, tapi juga para suami. Betapa tidak, beredar informasi kalau kasus perselingkuhan ini bukan hanya menyasar kalangan selebritas, tapi semua kasta manusia, termasuk kaya, miskin, jelek, rupawan, tua dan muda. Khawatir, kasus serupa dapat menimpa rumah tangga sendiri lalu berakhir dengan perpisahan
Sebagian malah sudah tumbuh syak wasangka negatif kepada pasangannya, curiga berlebihan kepada suami atau isterinya ketika sedang tidak bersama. Saling mengintip dan memata-matai setiap gerak-gerik pasangannya. Bayangkan, ketika suami berangkat kerja, isteri di rumah was-was suaminya selingkuh di tempat kerja. Begitu pula sang suami, dari tempat kerja apalagi jika bertugas ke luar kota, khawatir isterinya selingkuh dengan pria lain di rumah.
Pikiran negatif ini muncul karena dampak dari pemberitaan di media, hampir semua peristiwa perselingkuhan terjadi di tempat kerja atau ketika ditinggal kerja. Ditambah lagi desas-desus berseliweran di dunia maya kalau selingkuh di tempat kerja itu adalah hal yang sudah lumrah dan menjadi rahasia umum. Mendengar dan melihat fenomena ini hampir tidak percaya, tapi kasus perceraian sebab perselingkuhan ini nyata adanya, bukan di dunia maya tapi nyata.
Korbannya, ada yang sampai menulis pengalaman pahitnya menjadi sebuah novel, cerpen dan status. Novel "Layangan Putus" salah satunya, korban perselingkuhan yang kemudian kisahnya diangkat ke layar kaca menjadi sebuah film. Film serupa juga banyak diproduksi baik di dalam maupun luar negeri, meskipun bukan berdasarkan kisah nyata. Alur ceritanya juga beda-beda, ada yang memasang kamera di rumah, menaruh chip di handphone, mengirim mata-mata, menyamar jadi pembantu rumah tangga dan lain sebagainya. Â
Ya, walaupun tidak diangkat dari kisah nyata alias fiksi belaka namun, film demikian memang hendak menampilkan realitas kehidupan sosial masyarakat sesungguhnya. Mengapa? Karena salah satu peran media adalah merefleksikan atau mencerminkan kembali peristiwa, perilaku, identitas, hubungan sosial atau nilai-nilai tertentu di tengah masyarakat.
Jadi, kalau misalnya tanyangan televisi dan berita internet didominasi oleh sek, kekerasan dan perselingkuhan maka, sebenarnya kita sedang menonton kondisi kehidupan masyarakat saat itu. Ibarat cermin, ia akan menampilkan apa yang ada di depannya, termasuk perselingkuhan. Dapat diartikan, fenomena perselingkuhan ini mungkin sudah menjadi budaya atau perilaku baru di kalangan masyarakat tertentu dan menganggapnya hal biasa.
Hanya saja, secara umum masyarakat Indonesia menolak secara tegas perilaku merebut serta menggangu kehidupan rumah tangga orang ini. Mereka resah dan gelisah dengan kehadiran para perebut suami orang (pelakor) dan perebut isteri orang (pebinor). Biasanya, korban akan mengamuk bila mendapati pasangannya direbut orang dan orang yang menyaksikan akan ikut membela korban, sebagaimana nampak dalam setiap kolom komentar.
Memang benar, siapa yang tidak resah dan gelisah melihat sekaligus merasakan sendiri orang yang sudah puluhan tahun bersama sebagai pasangan suami-isteri, tiba-tiba harus retak atau berpisah karena kehadiran orang ketiga. Siapa yang tidak sakit hati dan trauma, separuh nafas dan jiwanya diambil orang lain, padahal sudah sekian lama memadu kasih dan berbagi cinta. Semua orang pasti emosi, marah, geram dan kecewa pada kekasih yang mendua.
Lalu, apa solusinya?
Selama ini masyarakat hanya memberikan hukuman sosial kepada para "Perebut Laki dan Bini Orang." Di lingkungan masyarakat mungkin orang akan terus memperbincangkan sekaligus melabeli para pelakor dan pebinor itu dengan sesuatu yang nista. Sementara di media sosial, orang akan menyebarkan foto, video atau identitasnya supaya mendapatkan hukuman atau persekusi/bullying dari para pengguna media sosial lainnya.
Meski demikian, nyatanya pelakor dan pebinor ini belum juga jera apalagi hilang dari pusaran kehidupan. Justru, perilaku mengganggu, merusak serta merebut pasangan orang semakin bertambah banyak, seperti penyakit menular yang bila ada satu maka akan muncul seribu. Bahkan ada yang mengatakan, sekali selingkuh ia akan terus selingkuh, sekali jadi pelakor atau pebinor, ia akan tetap jadi perebut pasangan orang.
Ibarat obat, ia kecanduan dan tidak ada obat yang bisa menyembuhkan kecuali kematian. Saya tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah rumah tangga yang bercerai karena pelakor dan pebinor ini. Pastinya, berdasarkan kegaduhan di media sosial jumlahnya semakin hari semakin bertambah, dan tentunya hal ini tidaklah baik bagi kehidupan rumah tangga seseorang. Andai ini terjadi pada kita atau keluarga terdekat kita, bagaimana?
Hemat saya, rasanya kurang memberikan efek jera bila pelakor dan pebinor ini hanya dihukum secara sosial. Harus ada hukuman lebih berat agar orang-orang seperti ini mau bertobat serta yang memiliki niatan jadi pelakor atau pebinor berpikir ulang untuk melakukannya. Sebab hal ini sudah sangat meresahkan masyarakat luas dan dikhawatirkan berubah menjadi budaya sekaligus gaya hidup baru kalangan muda. Â
Tentu saja, keresahan ini harus disadari dan dipahami oleh seluruh elemen masyarakat secara kolektif, bahwa perbuatan menggangu, merusak serta merebut suami atau isteri orang adalah patologi sosial, perilaku amoral dan bahkan tindakan kriminal. Semuanya harus bersatu padu membasmi perselingkuhan, terutama pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan pemilik otoritas untuk menertibkan atau melakukan pembinaan kepada para pelaku.
Berikutnya, saya sangat sepakat bila pelakor dan pebinor ini dipenjara. Demi kelanggengan serta keamanan kehidupan rumah tangga kita. Jadi, perilaku merusak, mengganggu dan merebut pasangan orang termasuk tindakan kriminal alias kejahatan. Tujuan utamanya memberikan efek jera dan mencegah pelaku baru bermunculan. Sekali lagi, penjara adalah tempat yang paling tepat bagi para "Perebut Laki atau Isteri Orang," dan perbuatannya layak disebut kriminal atau kejahatan karena telah merusak rumah tangga seseorang. Siapa yang setuju pelakor dan pebinor dipenjara, silakan beri komentar!
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H