Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Black Campaign, Jalan Pintas Mendongkrak Elektabilitas

26 Desember 2023   06:47 Diperbarui: 26 Desember 2023   07:16 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi black campign | sumber: iStockphoto.com/Nadya UstyuszhantzevaKetika musim kampanye tiba, semua kandidat presiden dan wakilnya berlomba merebut hati rakyat agar berkenan memilih dirinya. Dalam hal ini, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mengenalkan dirinya kepada publik. Beragam strategi kampanye serta model pendekatan kepada calon pemilih digunakan hanya sekadar meyakinkan mereka bahwa dirinya benar-benar serius serta komitmen memimpin bangsa. Langkah seperti ini wajar dan legal dilakukan mengingat sistem pemilu kita adalah demokrasi, bukan monarki.

Masalahnya, di antara beragam bentuk kampanye ada black campaign (kampanye hitam) yang sengaja digunakan oleh kubu tertentu sebagai salah satu strategi meraih kemenangan, dan terus terang saya termasuk orang yang menentang penggunaan kampanye hitam dalam setiap proses pemilu. Pertama, karena tidak sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa atau terlarang menurut kacamata agama, sehingga secara otomatis berpengaruh pada cita-cita bersama terkait pelaksanaan pemilu, yakni jurdil (jujur dan adil).

Kedua, saya ingin dipimpin atau mempunyai pemimpin baik sekaligus benar, sehingga caranya juga harus dilakukan dengan baik dan benar. Bila cara mendapatkan kekuasaan saja sudah tak benar, baik dalam pandangan hukum agama maupun hukum negara, maka dapat dipastikan hasil produknya juga tidak baik apalagi benar. Artinya, kandidat yang menggunakan kampanye hitam dalam memenangi kontestasi pemilu adalah kandidat yang jauh dari kebaikan sekaligus kebenaran, dan ia tidak laik memimpin bangsa Indonesia ini.

Perlu diketahui sebelumnya, ada perbedaan mendasar antara negative campaign (kampanye negatif) dengan black campaign (kampanye hitam). Kampanye negatif identik dengan cara seseorang menyerang lawan politiknya menggunakan isu negatif, tapi disertai bukti dan data yang valid. Dalam bahasa lain, membuka aib atau keburukan lawan politiknya agar kredibelitas serta integritasnya hancur. Sementara kampanye hitam, ia menggunakan isu negatif tanpa bukti atau data, alias fitnah belaka dengan tujuan sama, mencemarkan nama baik sekaligus menjatuhkan marwah lawan politiknya.

Dalam pandangan hukum, kampanye negatif ini tidak termasuk pelanggaran hukum, karena pada dasarnya serangan tersebut berbasis fakta dan data. Artinya, sah-sah saja dan pihak yang tertuduh juga bisa menangkis atau menyanggah dengan data pula. Berbeda dengan kampanye hitam, ia termasuk pelanggaran hukum dan pelakunya dapat dipidanakan. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun demikian, secara etika dan moral keduanya tidak dapat dibenarkan dan harus dijauhi.

Mendekati hari pencoblosan, semua tim sukses capres-cawapres berlomba mempertahankan dan meningkatkan elektabilitas paslonnya, berpacu dengan waktu yang terus melaju. Ibarat pertandingan bola, sekarang sudah mendekati injury time atau last minutes, sehingga semua ikhtiar dilakukan untuk menjemput kemenangan. Saya berharap, menjelang hari pencoblosan ini kampanye negative serta kampanye hitam tidak menodai kesucian pesta demokrasi rakyat Indonesia, kontestasi berjalan fair, menjungjung tinggi etika dan moral.

Hanya saja, terkadang harapan itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Sejak deklarasi calon presiden dan wakilnya, kampanye negatif dan bahkan kempanye hitam sudah bertebaran di media sosial. Setiap kali berselancar di dunia maya, tanpa saya kehendaki, berita dan informasi mengenai keburukan tokoh atau kejelekan organisasi tertentu selalu berseliweran di beranda media sosial. Tautan informasi tersebut dirayakan dengan penuh gegap-gempita oleh para komentator melalui kolom komentar di bawahnya dengan segala bentuk komentarnya.

Saya tidak habis pikir, mengapa kita gemar mengomentarai sesuatu yang belum jelas benar-valid atau tidaknya, apalagi mengomentari informasi yang sudah nyata salahnya. Kadangkala informasinya mengandung kebenaran, tapi komentarnya rata-rata menyalahkan. Isi beritanya tentang prestasi seseorang, namun komentarnya berisi olokan, cacian, hujatan, tuduhan serta keburukan lainnya yang penuh kebencian. Jika ada berita terkait kejelekan seseorang, seperti ikan mendapat umpan, waktunya berpesta pora.

Lambat laun kita mengetahui, ternyata semua ini memang sengaja dibuat dan dikelola secara sungguh-sungguh menggunakan ilmu serta biaya yang tidak murah. Kita kemudian tahu, orang yang bekerja untuk urusan ini namanya buzzer, sebuah istilah atau nama yang muncul setiap momen pemilu. Tugas utamanya mencari kesalahan, menyebarkan keburukan dan membesar-besarkan kegagalan. Tujuannya tidak lain menaikan elektabilitas serta mengumpulkan suara sebanyak mungkin untuk kandidat tertentu ketika hari pencoblosan nanti.

Sekilas, pilihan langkah ini memang cukup rasional, mengingat target dari kampanye hitam ini adalah mereka yang belum menentukan pilihan, undecided voters dan massa mengambang, swing voters. Pada saat yang sama, menanamkan informasi dan pesan "bai-baik" demi meraih simpati membutuhkan energi, waktu dan biaya besar. Mestinya, jauh hari sebelum kampanye dimulai, pengenalan figur sudah gencar dilakukan, mengingat luasnya wilayah Indonesia serta banyaknya jumlah pemilih yang tesebar dari Sabang sampai Merauke.

Akhirnya, karena mepetnya waktu dan ambisi memenangkan pemilu dipakailah jalan pintas. Jalan pintasnya adalah menyerang pihak lawan dengan fitnah dan informasi berisi tuduhan palsu. Memproduksi berita hoax sebanyak-banyaknya, membuat akun anonim, menyusun dan mengelola pesan sedemikian rupa untuk memunculkan rasa cemas, takut dan benci terhadap figur lawan. Mungkin, salah satu korbannya adalah kita, dalam pemilu kali mendukung si-A dan pada saat bersamaan membenci calon B dan atau C.

Benarkah kita mendukung si-A karena informasi yang kita peroleh adalah kebaikannya atau membenci si-B dan C disebabkan oleh terpaan berita yang menyesatkan? Pertanyaan ini tentu dijawab sendiri karena masing-masing kita memiliki alasan tersendiri. Perlu diingat, informasi itu bukan hanya bersumber dari media massa dan media sosial, tapi juga orang-orang sekitar yang membawa informasi entah benar atau salah lalu kita nalar dan kita jadikan pijakan dalam mengambil keputusan serta tindakan, benci atau suka.

Praktisnya, black campaign (kampanye hitam) merupakan penciptaan sekaligus penggiringan errors in reasoning, kesalahan dalam penalaran, dalam rangka memenuhi tujuan sesaat yakni mendapatkan simpati, menaikan elektabilitas dan mendulang suara di hari pencoblosan nanti. Jadi, ketika kita terus menerus dijejali informasi bias dan menyesatkan, lambat laun terbentuk kesalahan penalaran atau pertimbangan. Misalnya, kita acapkali mendapatkan informasi atau berita keburukan kandidat tertentu, maka informasi inilah yang akan membentuk pikiran kita dan pada akhirnya menjadi pijakan dalam mengambil tindakan.

Apakah bisa kampanye hitam mendongkrak elektabiltas kandidat tertentu? Jawabannya bisa, bahkan sangat bisa. Sebab, menghancurkan karakter serta nama baik seseorang itu sangatlah mudah dan cepat, dibandingkan dengan membangun reputasi atau rekam jejak kebaikan, dan hal seperti ini sudah banyak contohnya. Orang besar, tokoh nasional, terkenal dengan karya serta kontribusi kebaikannya bagi banyak orang, namun karena ia melakukan satu kesalahan yang diketahui oleh lawannya, dibunuh karakternya lalu selesai.   

Tentu dengan catatan, kampanye hitam ini akan berhasil bila dilakukan secara terorganisir, sistematis, dan massif dari atas sampai bawah. Sebagaimana sebuah ungkapan mengatakan, "Kejatahan yang dilakukan secara terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang amburadul," serta "Kebohongan yang disampaikan secara terus-menerus akan dianggap sebagai sebuah kebenaran." ini rumus dalam menggunakan kampanye hitam.

Sekali lagi, kampanye hitam ini hanyalah jalan pintas untuk mendongkrak elektabilitas. Hanya kandidat penakut dan pecundang, ingin menang tapi dengan cara curang yang menggunakan kampanye hitam. Bila hendak mengetahui secara langsung, cobalah masuk ke belantara media sosial, cari informasi atau berita politik, lihat kolom komentarnya dan anda akan menyaksikan segala bentuk keburukan mencoba menindih atau menutupi kebenaran.

Kita perlu mengawal, siapapun dari ketiga paslon presiden dan wakil presiden yang melakukan cara-cara tidak beradab ini harus kita lawan. Jangan biarkan kampanye hitam mengotori pesta demokrasi kita. Lebih penting lagi, pastikan kita bukan termasuk bagian dari kubu yang turut serta menghalalkan segala cara, tenggelam dalam kebencian seiring dengan terbenamnya akal sehat kita dan berbangga ketika berhasil menyakiti lawan. Jalan pintas memang terasa lebih cepat, tapi belum tentu mampu mendongkrak elektabilitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun