Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Capres dalam "Agenda-Setting" Media

18 Desember 2023   08:22 Diperbarui: 18 Desember 2023   08:32 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar seorang repoter sedang wawancara | freepik.com/reepik

Pada tulisan sebelumnya yang berjudul, "Debat Capres dalam Bingkai Media Sosial," sedikit kami singgung mengenai peran strategis media massa dalam memenangkan kandidat tertentu menggunakan teori agenda setting. Menurut teori yang dipopulerkan oleh McComb dan Shaw ini, media memiliki agenda terselubung pada isu atau topik tertentu, mengangkatnya menjadi Headline News atau berita utama sehingga publik mengira isu tersebut penting.

Contohnya, untuk isu internasional yang diangkat oleh media menjadi topik utama adalah soal pembantaian atau genosida terhadap rakyat Gaza oleh Israel. Setiap saat kita mendapatkan berita mengenai situasi terkini di bumi Palestina. Sebelumnya juga, topik terkait Covid-19 jadi berita utama media massa di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri cukup banyak isu yang oleh media diangkat ke permukaan dan mendapatkan atensi luar biasa dari publik.

Mulai dari kasus KM 50, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, UU Omnibus Law, kasus Sambo, hingga putusan MK perihal batas usia minimal-maksimal calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Pasti, sebagian dari kita bertanya, dari ribuan atau bahkan jutaan isu yang ada, mengapa hanya segelintir saja yang diangkat oleh media? Sekali lagi, media punya agenda tersendiri, entah itu politik atau komersial, untuk kepentingan publik atau perusahaan.  

Dalam sejarahnya, teori ini muncul karena pemilu, tepatnya pemilihan gubernur Florida pada tahun 1968. Mereka menemukan fakta lalu menyimpulkan, masyarakat Florida yang terpapar berita tentang kandidat tertentu, cenderung memilih kandidat tersebut. Nah, Indonesia saat ini sedang menggelar pesta demokrasi alias pemilihan presiden dan wakilnya, sehingga teori ini sangat cocok untuk membedah peran media dalam menggaet para pemilih.

Tentu, tulisan ini secara spesifik tidak hanya memfokuskan pembahasan pada media massa seperti Televisi, Koran, Majalah, Radio dan media massa berbasis online. Namun, media sosial sebagai salah satu channel atau alat dalam menyebarkan informasi akan menjadi bagian tak terpisahkan dari pembahasan ini. Sebab faktanya, hampir semua media massa menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan konten berita mereka.

Jadi, bila kita urut tentang isu pemilu di Indonesia ini, kapan media mulai mengangkat isu ini menjadi sebuah topik penting dan terus mendapatkan perhatian dari publik, ketika lembaga survei mengeluarkan hasil surveinya. Mulai dari kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah elektabilitas partai dan tokoh-tokoh tertentu di tingkat nasional. Dalam hal ini, media menjadi fasilitator atau dalam bahasa Mc Luhan, "in which channel," sebagai media penyebaran hasil survie. Lalu, mendapatkan respon dari eleman masyarakat, khususnya elit.

Isu dan berita mengenai politik ini terus dimunculkan oleh banyak media massa, meskipun pada waktu itu pemilu masih satu tahun lagi. Apa agenda terselubungnya, sehingga jauh-jauh hari sudah di setting sedemikian rupa? Hipotesis saya dua, pendidikan politik bagi masyarakat dan mengeruk keuntungan finansial. Media hendak menyadarkan masyarakat bahwa politik itu penting dan tidak boleh diabaikan, karena menyangkut masa depan bangsa dan negara ini. Adapun keuntungan finansial sudah tentu sebab, rata-rata media itu bersifat komersial.

Puncaknya, ketika muncul bakal calon presiden, berita soal politik semakin gencar diberitakan. Ada bapak Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan beberapa nama lain yang di kemudian hari nama-nama tersebut tereleminasi dengan sendirinya atau karena faktor politik. Dari sekian banyak nominator lalu tersisa tiga, dan media kembali cawe-cawe, ikut mengemas ketiga nama tersebut hingga deklarasi pencalonan.

Dari deretan peristiwa tersebut di atas, publik sudah terpapar mengenai isu dan berita politik. Hal ini terbukti dari topik percapakan masyarakat sehari-hari di media sosial atau dunia maya dan bahkan nyata, mengenai isu politik. Bahkan, pendukung dari masing-masing bacapres itu sudah ada, kubu pak Anies, Prabowo dan Ganjar. Artinya, media massa berhasil menggiring dan membentuk opini publik sebagaimana tujuan agenda settingnya.

Dari sini kita juga dapat mengambil kesimpulan awal bahwa media memang memiliki peran strategis dalam memenangkan kandidat tertentu. Ya, sederhananya begini, orang tahu bapak Anies, Prabowo dan Ganjar dari mana? Pasti dari media. Kecuali, orang-orang tertentu yang pernah berjumpa atau berinteraksi langsung dengan ketiga orang tersebut. Publik tahu apa tentang mereka? Nah, itu juga dari media. Mereka tahu Anies cerdas, Prabowo gemoy, Ganjar tegas dari berita yang mereka konsumsi setiap hari.

Dalam arti lain, semakin sering seseorang itu diberitakan niscaya semakin banyak dikenal oleh masyarakat. Ketiga paslon ini terkenal karena media, masing-masing diberitakan sisi baik dan buruknya. Makanya, salah satu fungsi media itu adalah memberitakan kepada masyarakat, ini loh, calon presiden dan wakilnya, diusung oleh partai ini dan itu, rekam jejaknya seperti ini, semuanya diinformasikan tanpa melebihkan atau mengurangi.  

Apalagi, kalau media dimaksud berpihak pada kandidat tertentu, dapat dipastikan berita yang disajikan akan menonjolkan kelebihan dan kehebatan kandidat tersebut, pada saat bersamaan mengecilkan kandidat lainnya. Bila demikian adanya, maka kita dapat menilai bahwa media, tidak semuanya independen, menjalankan tugas serta fungsinya sebagaimana mestinya. Inilah yang perlu diwaspadai agar kita tidak menjadi korban dari media massa seperti ini. Bagaimana caranya? Cari media pembanding dan lakukan analisa secara mendalam.

Dua bulan menjelang pencoblosan, baik Anies, Prabowo maupun Ganjar sama-sama fokus adu strategi untuk mendapatkan simpati publik. Salah satunya, membangun citra positif melalui media baik massa maupun sosial. Masing-masing kubu, setiap saat memproduksi berita tentang kelebihan paslon. Mereka membanjiri media dengan berita-berita positif tentang Anies, Ganjar dan Prabowo. Tujuannya, bukan lagi agar dikenal masyarakat tapi lebih pada meyakinkan publik supaya mereka tetap memilih atau mengubah pilihan. Boleh dikata, media punya andil besar dalam mengangkat atau menjatuhkan paslon tertentu.

Semakin citra positif itu massif diberitakan, maka peluang keterpilihan itu semakin besar. Begitu pula sebaliknya, bila yang banyak tersebar adalah berita keburukannya, secara otomatis publik akan mengalihkan dukungannya pada paslon lain. Makanya, para kandidat saat ini dalam kondisi kehati-hatian yang sangat tinggi, sebab satu kali saja melakukan blunder akan berdampak pada elektabilitas mereka. Ibarat kata, para kandidat sedang berada di depan mulut buaya, bila tidak waspada, siap-siap diterkam oleh media dan ditinggalkan para pemilihnya.

Semua ini memang dalam setting dan agenda media tanpa terkecuali. Boleh disebut, media saat ini sedang mengendalikan publik dalam hal isu politik dan pemilu. Sehingga, orang yang awalnya mennganggap tidak penting menjadi antusias dan larut mengikuti perkembangan isu politik. Hal ini mengacu pada angka swing voters dan undecided voters yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan yang sudah menentukan pilihan. Mereka ini bukan berarti tidak terpapar berita politik, tapi, hemat saya lebih karena sikap apatis atau memang melek media.

Benarkah media mampu mengarahkan atau mengubah pilihan politik seseorang? Bila masih ragu, kita bisa berkaca pada dua pemilu sebelumnya. Ketika itu media mencitrakan bapak Joko Widodo sebagai kandidat yang sederahana, merakyat dan berprestasi. Akhirnya, framing ini bisa mendapat simpati masyarakat cukup besar dan pak Jokowi berhasil memenangkan pemilu. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri apalagi diabaikan, dan sekarang strategi ini sedang diadopsi oleh kandidat tertentu menggaet simpati publik dan menutupi kekurangannya.

Akhir kata, kita yang jauh dari para kandidat presiden ini pasti akan mencari informasi melalui media, perihal bagaimana rekam jejak dan visi-misi mereka. Sehingga, saran saya, informasi yang membanjiri lini masa kita jangan langsung ditelan mentah-mentah. Berita baik dan buruk perihal pemilu, khususnya mengenai para kandidat presiden dan wakilnya selalu silih berganti, tumpang tindih dan zig-zag. Itu karena kita sedang memasuki medan perang bernama Cyber War, di mana setiap kubu saling serang dengan senjata bernama media yang berpeluru berita.

Boleh jadi berita yang kita terima selalu tentang keburukan salah satu paslon, sehingga kita benci dan enggan memilihnya. Padahal, berita mengenai kebaikannya juga banyak dan tersebar di berbagai platform digital. Cari sumber berita yang kredibel, independen dan menjalankan fungsi jurnalistiknya secara benar. Selalu ingat, dibalik pemberitaan sebuah media, pasti ada agenda yang sudah disetting untuk mengendalikan kita.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun