Riuh! Begitulah kata yang cocok untuk menggambarkan kegaduhan dunia maya sebelum, saat dan setelah helatan pertama debat calon presiden.Â
Betapa tidak, sebelum debat ini dihelat, sudah terjadi kegaduhan di masyarakat perihal format debat yang dikeluarkan oleh KPU selaku penyelenggara.Â
Muncul spekulasi dari masyarakat, KPU diintervensi karena salah satu paslon takut debat. Saling sindir, tuduh dan klarifikasi sempat terjadi antar kubu karena menganggap formatnya tidak mengakomodir kepentingan masyarakat umum.
Menjelang hari H, banyak masyarakat yang sudah tidak sabar menanti debut para kontestan presiden Indonesia tersebut. Mereka ingin sekali mengetahui langsung paparan visi-misi, gagasan, wawasan, argumentasi serta isi kepala dari pak Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo melalui mimbar debat.Â
Ini berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas, antusiasme masyarakat yang akan menonton acara debat capres mencapai angka 56,4 persen. Sementara sisanya belum tentu dan enggan menonton.
Saat pelaksanaan hingga tulisan ini dipublikasikan, riuh kehidupan dunia maya semakin terasa. Masing-masing kubu saling mengklaim kemenangan dan enggan mengakui kekalahan. Karena, dalam kacamata pendukung, pasti paslon mereka lah yang terbaik.Â
Caranya beragam, mulai dari mengeluarkan pernyataan, membuat narasi, tulisan, dan menguatkan data atau gagasan. Tak heran, seusai debat antar capres, debat berlanjut antar pendukung. Menurut saya, lebih sadis debatnya netizen karena tanpa aturan dan batasan.
Buktinya, banyaknya potongan video dengan atau tanpa tambahan narasi yang menyebar masif melintasi media sosial kita, komentarnya beragam, membela masing-masing jagoan.Â
Tentu tujuannya adalah menggiring opini publik, mengubah lanskap politik masyarakat, menambah elektabilitas sekaligus menggaet pemilih baru dan memenangkan pemilu.Â
Artinya, rangkaian debat ini tak ubahnya sebuah iklan komersial yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat alias pemilih supaya memilih paslon tertentu.