Menjadi anak pertama memang tidaklah mudah, apalagi jika anak pertama tersebut adalah seorang perempuan. Mereka merupakan harapan bagi kedua orang tua, dituntut menjadi panutan bagi adik-adiknya, bahkan ada pula yang menjadi tulang punggung keluarganya. Mereka pandai menutupi kesedihan karena tidak ada tempat untuk mengeluarkan segala beban. Mereka rela mengubur impian demi kebahagiaan keluarganya di masa depan. Hal inilah yang Mia rasakan.
Mia merupakan anak pertama dari Pak Hadi dan Bu Nur. Ayahnya seorang guru, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Sejak kecil, Mia dididik untuk menjadi anak yang kuat dan tahan banting. Hingga ia tumbuh menjadi anak yang mandiri. Mia memiliki seorang adik laki-laki yang masih bersekolah. Ia merasa harus lulus kuliah lebih cepat agar tidak membebani kedua orangtuanya. Berkat kegigihannya, Mia dapat menyelesaikan S1nya dalam kurun waktu 3 tahun 5 bulan dengan predikat cumlaude.
Rencananya, Mia akan mengikuti wisuda periode 3 yang akan diselenggarakan pada bulan April. Ia sudah menyiapkan tiket, seragam wisuda, MUA plus fotografernya, serta penginapan untuk keluarganya --mengingat kampusnya yang berada diluar kota, jauh-jauh hari. Akan tetapi, sebulan sebelum acara wisuda digelar, virus covid-19 melanda Indonesia. Pihak kampus mengeluarkan maklumat agar seluruh kegiatan perkuliahan dilaksanakan secara online --termasuk prosesi wisuda. Mia dan kedua orangtuanya sangat kecewa, momen wisuda yang sudah dinantikan sejak lama kini ternyata tidak sesuai dengan ekspektasinya.
***
Untuk mengisi waktu luang selama masa pandemi, Mia berinisiatif menjadi guru pengganti di salah satu SD swasta di kotanya. Gajinya memang tidak seberapa, tapi setidaknya pengalaman yang didapat cukup berharga. Disana, Mia belajar bagaimana cara menghadapi karakter siswa yang berbeda kemudian mengerjakan beberapa administrasi guru beserta tetek bengeknya. Ternyata menjadi guru tak semudah apa yang ia kira.
***
        Beberapa bulan kemudian, setelah di rasa cukup aman untuk bepergian, Mia berencana untuk mengambil ijazahnya. Ia dan keluarganya sepakat untuk berangkat hari kamis pukul 5 pagi. Bu Nur sudah menyiapkan semua keperluan yang akan dibawa selama dua hari kedepan. Pak Hadi juga sudah mengambil cuti dan menyiapkan mobil sewaan yang akan mengantarkan mereka kesana.
        Sebelum berangkat, tiba-tiba Pak Hadi merasa tidak enak badan. Namun, karena tidak ingin mengecewakan Mia, Pak Hadi berpura-pura terlihat baik-baik saja. Beliau memaksakan diri untuk tetap berangkat hari itu juga.
        "Ayah kenapa?" tanya Bu Nur kepapa Pak Hadi
        "Kayaknya Ayah masuk angin, Bu. Gak papa, palingan nanti juga sembuh" kata Pak Hadi
        Di tengah perjalanan, mereka berhenti di sebuah masjid untuk sarapan. Namun, betapa terkejutnya Mia dan ibunya melihat Pak Hadi yang mendadak tangannya mulai kaku dan raut wajahnya berubah. Mereka merasa ada yang aneh. Dengan keadaan panik, mereka menuju ke klinik terdekat.
        "Bu, mohon maaf, tekanan darah Pak Hadi tinggi sekali, 220/90. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit" kata seorang perawat yang menangani.
        Tanpa pikir panjang, mereka menuju ke rumah sakit. Pak Hadi langsung dilarikan ke IGD. Hanya Bu Nur yang diperbolehkan masuk untuk menemani Pak Hadi. Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan, ternyata Pak Hadi terkena stroke. Pembuluh darah di otaknya pecah. Setengah badannya tak berdaya, bahkan untuk berbicara pun susah. Melihat kondisi ayahnya yang terkulai lemah, Mia dan ibunya pun menangis. Siapa sangka, Rencana Mia untuk mengambil ijazah dan berlibur ke luar kota berubah menjadi berlibur ke rumah sakit umum daerah. Pak Hadi yang tadinya baik-baik saja tiba-tiba terkena sakit parah.
        Mia mulai gelisah. Bagaimana jika nanti ayahnya tidak selamat? Ia belum sempat merasakan foto wisuda bersama ayahnya. Ia juga merasa belum sempat membahagiakan ayahnya. Bagaimana nanti jika ia menikah tanpa hadirnya seorang ayah? Padahal ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Bagaimana nanti nasib keluarganya? Siapa yang akan membiayai sekolah adiknya? Sedangkan gaji Mia waktu itu hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menghantui pikirannya. Sebagai anak pertama, Mia merasa bertanggung jawab atas keluarganya.Â
"Ya Allah, tolong jangan ambil ayah saya sekarang. Saya belum siap" ini adalah doa yang selalu Mia lantunkan sambil menahan tangis.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H