Mohon tunggu...
Bustamin Wahid
Bustamin Wahid Mohon Tunggu... Administrasi - Nika

Bustamin Wahid ad/ Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ternak "Setan" di Universitas

28 Februari 2023   19:13 Diperbarui: 1 Maret 2023   06:43 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bustamin Wahid

Peneliti Pusat Studi Melanesia

Rekognisi memori yang lama bukan bermakna menjatuhkan diri pada lumpur peristiwa lampau, tapi sesungguhnya ingatan sosial ini menjadi satu refleksi untuk masa depan yang futuristic. Oleh karena itu jauh berbeda bahwa refleksi ke atas sejarah menjadi penting tanpa harus sesat dalam penjara sejarah dahulu, sebagaimana yang di kritik oleh Jalaludin Rakhmat (Kang Jalal). 

Kita menyoroti tentang narasi "setan" yang terus di ulang-ulang dalam materi kajian beberapa hari yang lalu. Saya sendiri merinding, tapi bersepakat untuk berperang terhadap setan berwujud akademik itu! Karena setan bisa berwujud apa saja, termasuk warga universitas yang berdimensi kesetanan, setan bisa terselip dan masuk dalam ranah kebijakan universitas dan bahkan setan berada dalam kerja-kerja intelektual, dan pada akhirnya menggugurkan idealisme intelektual itu sendiri.

Dimensi "setan" tegas telah di tutur dalam bahasa teologi, bahkan "setan" berada dalam ruh kejahatan  di dalam novum Jecques Derrida tentang oposisi biner. Kajian sosiologi eksistensi oleh Ali Syariati telah mengulas penciptaan manusia dengan segala potensinya, bagi Syariati manusia itu diciptakan dari roh tuhan yang suci dan lubung tanah yang hina, roh tuhan yang suci cenderung membawa manusia pada nilai-nilai kebaikan dan ilahia, sedangkan lumbung tanah yang hina cenderung pada jalan keburukan, kejahatan (dimensi setan).

Setan Akademik dan paradoks kebenaran

Saya sendiri mengartikan bahwa setan ikut campur dalam semua hal, bahkan setan mendorong kita berupaya untuk berfikir sectarian dan faksi  sosial tertentu, bahkan kepentingan personal dengan jubah lembaga sekalipun. Kebijakan yang diambil karena ada hubungan kekerabatan atau yang di istilahkan oleh penulis sebagai relasi kuasa dan jaringan sosial. Itu semua adalah praktik kesetanan atau dalam istilah Foucault adalah Power Games.

Di arena intelektual, kita tak bisa pungkiri bahwa setan terus ikut membantuk mahasiswa untuk menyusun proposal, skripsi dengan bayaran jasa yang beragam, hal itu hendak kita jumpai pada rutinitas yang bernama ujian.  Bukan sekedar skripsi mahasiswa, joki intelektual juga menjadi bola liar, minggu kedua februari koran tempo mengejutkan kita dengan liputan investigasi, hendak mendobrak satu fenomena akademi tentang jalan terjadi menjadi Guru Besar, tersaji diatas halaman dengan judul "calon Guru Besar terlibat Perjokian Karya Ilmiah".   

Perjokian melibatkan pejabat struktural kampus, dosen dan mahasiswa. Selain itu dosen dan mahasiswa yang membutuhkan karya ilmiah bisa menggunakan jasa calo dari pihak luar kampus. Bahkan, banyak dosen hingga calon guru besar tertipu karena menggunakan jasa pengelola jurna. (Kompas, 10/02/23).

Wajah dan tradisi intelektual tukangan seperti demikian sering terjadi di berbagai universitas, memang idealisme kita di taruhan dalam arena akademik.  Kendati begitu kita harus jujur bahwa dunia intelektualisme kini telah berubah, manusia dipaksakan untuk mendunia dan gagah-gagahan setengah mati, demi publikasi dan atas nama. Berbeda halnya dengan renungan Sertillanges tentang intelektualisme yang bekerja dalam diam dan terus berapi-api untuk semua dokumen kebenaran.

Pada 1975 di New York, Karya bersa Gadamer yang seminal tentang "Truth and Method" menggoncang kebenaran dunia pemikiran, Gadamer mengungkap bahwa ketercapaian kebenaran dalam konteks penafsiran, maka seorang hermeneut harus lari dari cengkraman metode, dan harus berada dalam pusaran dialektika. 

Bagi Gadamer bahwa metode justru menghambat kebenara, sedangkan dialektika tiada henti mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran hingga paripurna. Analogi yang tajam ini menggambarkan pada satu peristiwa metode penguasa di zaman kegelapan yang penuh dengan prasangka dan curiga, kebenaran dan kesucian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berkuasa. Umat manusia yang berbeda langka dan aktivitas pasti di hujani dengan kesalahan.

Di arena akademik semua orang tergoda dengan intelektualisme yang tumbuh, dinamika yang terbuka dan kemandirian. Akademisi berjalan dan berimajinasi sejauh mana pun dia, dengan harapan dia tetap akan kembali di rumah pemikirannya, proses dominasi-mendominasi yang tak berkesudahan, atas nama entitas tertentu dan menjadi kerajaan golongan dan kelompok. Maka tidak ada cara lain, kita harus perangi dengan kearifan tanpa mengabaikan nilai-nilai kebijaksanaan. Kita merindukan sosok pemimpin yang berani dan menancap panji peperangan untuk dan atas nama kesucian akademik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun