Pemain - yang katanya - menjadi harapan publik Indonesia akhirnya berlabuh di Gdanks, sebuah kota pelabuhan di Polandia. Lechia Gdanks, sebuah nama asing khas Eropa Timur yang susah diucapkan  mendadak sepopuler Real Madrid di negeri ini. Kontrak profesional - yg kabarnya - tiga tahun akan efektif Juni mendatang setelah Egy genap 18 tahun sesuai syarat usia minimal yang diperbolehkan FIFA dalam sepakbola profesional.
Jika benar demikian maka Egy  mungkin menjadi orang asli - bukan naturalisasi - Indonesia pertama yang 'benar benar' merumput secara profesional. Setelah kita hanya disuguhi pemain yang trial (percobaan) di sana. Ada memang para pendahulu Egy seperti Kurniawan Dwi Julianto (FC Luzern, Swiss), Bima Sakti (Helsinborg, Swedia) dan Kurnia Sandy (Sampdoria, Italy). Para punggawa ex- Primavera tersebut memang pernah bermain di Eropa pada pertengahan 90 an tapi kita tidak pernah tahu status mereka apakah hanya magang (titipan) atau dikontrak secara profesional. Bambang Pamungkas sempat mencoba di Belanda namun hanya klub amatir EHC Norad.
Publik sepakbola Indonesia sempat diberi harapan akan pemain yang katanya berbakat pada sosok Samsir Alam. Setelah menjalani training camp panjang di Uruguay, tim SAD dimana Samsir Alam jadi andalannya sempat digadang gadang menjadi tim masa depan timnas Indonesia. Beberapa media bahkan memperlakukannya bak selebritas dan kabarnya sempat pacaran dengan seorang artis. Namun nasib Samsir dan tim SAD sepertinya lebih buruk dari Primavera. Â Mungkin juga karena disebabkan kemelut di sepakbola Indonesia dalam beberapa tahun lalu.
Samsir Alam sempat diberitakan  bermain di Major League Soccer (MLS) bersama DC United di Amerika Serikat. Kebetulan salah satu pemilik DC United adalah Erick Thohir, pengusaha yang kini menjadi Ketua Panitia Asian Games (INASGOC) sehingga memberi jalan mudah (wildcard) bagi Samsir Alam bergabung dengan tim bermarkas di Washington itu. Walaupun kita tidak tahu statusnya di sana apakah magang atau dikontrak profesional. Namun sepertinya kita tidak pernah sekalipun mendengar sang pemain bermain dalam pertandingan resmi MLS. Padahal pada usia tersebut dia harus mendapat menit bermain yang cukup untuk  meningkatkan skill guna pengembangan karir dia berikutnya. Entah kalah bersaing atau tidak bisa beradaptasi dengan iklim disana yang kita tahu akhirnya dia balik ke Indonesia.
Namun setelah kembali ke Indonesia nasibnya tidak kunjung membaik. Di beberapa klub lokal Indonesia dia juga kalah bersaing bahkan di klub medioker Persiba Balikpapan pun tak tampak bahwa dia pernah disebut sebagai pemain masa depan Indonesia. Ini sungguh miris. Kondisi sepakbola Indonesia yang kacau waktu itu ikut memperburuk keadaan. Setelah lama tidak terdengar saya kaget ketika dia tiba tiba nongol di layar televisi sebagai host acara wisata dan jalan jalan. Padahal harusnya sekarang adalah usia produktifnya sebagai pemain bola. Di luar faktor eksternal, kesalahan perlakuan (mistreatment) dan mismanagement sepertinya menjadi faktor meredupnya seorang Samsir Alam.
Menit Bermain
Belajar dari kegagalan yang menimpa Samsir Alam, Egy dan orang orang di sekitarnya harus siap dengan konsekuensi sepakbola profesional. Selain alasan marketing -dimana fan sepakbola Indonesia salah satu yang terbanyak di dunia - saya berharap alasan Lecchia Gdanks merekrut Egy adalah skillnya mampu berkontribusi bagi tim. Dengan demikian Egy akan mendapat kesempatan menit bermain yang cukup.
Bagi pemain sepakbola orofesional - terlebih pemain muda - menit bermain adalah portofolio dan nilai jualnya. Menit bermain bagi pemain bola itu seperti jam terbang bagi pilot atau jam praktek bagi dokter. Karena menit bermain berkorelasi dengan kontribusi si pemain buat tim.Â
Skill dan nilai jualnya otomatis meningkat jika menit bermainnya banyak. Kita sering mendengar pemain yang rela meninggalkan klub elit demi mendapatkan menit bermain di klub yang biasa. Atau pelatih tim nasional yang mengancam mencoret pemain yang hanya menjadi penghangat bangku cadangan (bench). Bagi pemain muda jika minim menit bermain bisa membunuh karirnya lebih awal. Layu sebelum berkembang.
Salah satu tantangan buat Edy selain basic skill sepakbola adalah adaptasi iklim dan kultur di sana dan mental. Letak Polandia di belahan utara bersuhu lebih dingin sering menjadi handicap buat fisik orang dari Asia Tenggara yang berilklim tropis. Terlebih jika kita mendapati fakta bahwa Egy pemain terpendek di klub tersebut. Kemudian adaptasi kultur terutama bahasa.
 Saya tidak tahu apakah Egy punya kemampuan berbahasa Inggris karena ini faktor penting berkomunikasi dengan pelatih dan rekan setim. Atau pihak klub menyediakan penterjemah bagi Egy. Selintas bahasa Polandia ini termasuk sulit diucapkan oleh lidah Melayu karena sering lebih banyak konsonan (huruf mati) dibanding huruf vokalnya. Belum lagi soal kecocokan makanan. Lagi lagi ini soal sepele tapi bisa mempengaruhi mood bermain yang berakibat pada performa di lapangan. Beruntung Egy masih punya waktu beradaptasi sebelum Juni. Ini harus dimanfaatkan.
Mental dan psikologi juga harus dipersiapkan karena atmosfer liga Polandia ini termasuk yang intimidatif. Jangan mimpi bermain di Eropa buyar karena hanya faktor faktor non teknis yang kadang tidak diperhitungkan. Bahkan jika enam bulan pertama tidak mendapat kesempatan menit bermain yang cukup lebih baik hengkang dan gabung dengan klub tanah air. Karena bagi pemain muda tak ada guna dikontrak klub sekaliber Real Madrid pun kalau cuma kerjaannya selfi melulu sama Ronaldo tapi gak pernah main meski dielu elukan pendukungnya di tanah air. Itu akan menjadi perangkap mematikan. Jangan biarkan lima tahun lagi aku melihatmu di tayangan Liga Dangdut .Camkan itu ! Good luck.
Salam olahraga,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H