Kedua, ketersediaan jaringan operator seluler yang memiliki daya jangkau terbatas kepada pengguna HP berbasis android, khususnya bagi murid-murid yang tinggal di daerah terpencil serta memiliki kondisi geografi yang sangat sulit dijangkau.
Dalam kondisi seperti ini maka kita akan diperhadapkan pada kisah-kisah heroik para murid yang tidak terjangkau jaringan telepon seluler. Ada yang harus mendaki gunung seharian penuh untuk sampai kepuncak berharap ada jaringan atau sinyal HP yang memuluskan proses pembelajaran berbasis daring, bahkan ada yang rela memanjat pohon yang tinggi dan membuat rumah pohon di atasnya untuk dapat mengakses internet agar tidak ketinggalan proses pembelajaran di tengah menghadapi wabah pandemi Covid-19.
Tetapi ada hal miris di tengah kondisi murid yang berjuang mencari sinyal, sebab tidak jarang Kita mendengar berita atau kabar duka mengenai murid yang harus meregang nyawa karena harus berjuang mencari sinyal atau jaringan telepon seluler tertentu untuk mengikuti proses pembelajaran berbasis daring.
Bagi guru yang kesehariaanya sangat jarang atau bahkan tidak pernah melakukan proses pembelajaran berbasis aplikasi atau alat teknologi lainnya, justru akan mengalami “Kesulitan” bahkan bisa menjadi “Musibah” bagi dunia pendidikan, khususnya dalam mengimpelementasikan program “Merdeka Belajar.”
Cara-cara tradisional masih tetap dipertahankan meskipun zaman sudah berubah dan terus mengalami perkembangan yang pesat. Murid-murid masih harus tetap belajar ekstra untuk menjawab sekian puluh soal yang dibuatnya sendiri, mencatat atau menyalin sekian lembar buku yang sudah sangat jelas tertera pada buku paket atau buku penunjang lainnya dan masih banyak lagi beban tugas yang harus ditanggung oleh para murid di tengah mewabahnya pandemi Covid-19.
Lalu, bagaimana tanggapan guru-guru yang melakukan proses pembelajaran, tetapi masih bertumpu pada cara-cara tradisional tersebut. Tentu, “Pembelaan” dan “Pembenaran” selalu ada pada mereka (Guru) yang masih tetap bertahan menggunakaan cara-cara tradisional dan alergi dengan hal-hal yang berbasis teknologi.
Tidak sedikit guru yang merasa bahwa apa yang sudah mereka lakukan sudah benar dan tidak ada yang keliru tentang hal tersebut. Murid memang harus diberikan pelajaran untuk membuat soal dan dijawab sendiri, “Katanya” untuk melatih kemampuan Sang Murid dalam menyelesaikan masalahnya secara mandiri.
Kemudian, mengapa murid tetap diberikan tugas untuk mencatat atau menyalin, “Katanya” untuk melatih keterampilan murid dalam menulis. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun, akhirnya menjadi bulan-bulanan para guru yang merasa tersudutkan oleh pernyataan KPAI yang menyatakan bahwa di tengah mewabahnya pandemi Covid-19, para murid telalu banyak mendapatkan beban tugas yang sebenarnya kurang relevan dengan kondisi Indonesia yang saat ini sedang berusaha menghadapi pandemi Covid-19.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, guru, dan murid agar tetap dapat belajar dengan baik di tengah mewabahnya Covid-19. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sebaiknya melakukan kebijakan implementasi program “Merdeka Belajar” berbasis zonasi. Sebab, negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kontur dan kondisi geografi setiap daerah yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, perlakukan atau kebijakan yang dikeluarkan semestinya dapat mengakomodir semua kondisi-kondisi yang ada. Sekolah-sekolah diberikan fasilitas penunjang dalam proses pembelajaran, baik yang sifatnya daring maupun luring.
Guru diberikan sosialisasi yang baik, dibekali pelatihan dan seminar tentang implementasi program “Merdeka Belajar” agar mereka mampu memahami dan mendukung program pemerintah, khususnya dalam upaya pengembangan model pembelajaran yang berbasis luring menjadi model pembelajaran bebabasis daring.