Tak lama setelah Sarah pulang, sebuah film tentang kisahnya dirilis namun pemerintah Filipina berusaha menghalangi penayangan film tersebut karena (tetap) ingin menjaga hubungan baik dengan Uni Emirat Arab. Setelah ditunda selama beberapa bulan, keinginan publik Filipina untuk menyaksikan film tersebut tak terbendung, sehingga akhirnya pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk menghalangi peredarannya.
Jika saya ingat kisah Sarah Baglaban, saya selalu merasa beruntung saya bisa menyaksikan kisah hebat ini. Dimana pemerintah sebuah negara melindungi dan melayani rakyatnya dimanapun dia berada dan apapun kesalahan yang telah dia perbuat. Dan yang yang ada di otak saya tidak ada "Sarah Baglaban" di negara ini, yang ada hanya sekedar status TKI/ TKW, foto close up dan uang devisa hasil keringat mereka.
Saya rasa Indonesia pun bisa melakukan yang lebih daripada Filipina, namun semua itu terletak dari kemauan pemerintah kita untuk menghargai harga diri Bangsa ini. Bayangkan bagaimana mungkin sebuah kejadian hukum pancung warga negara Indonesia "lupa" diberitahukan kepada Pemerintah Republik ini. Apalagi kalau bukan karena pemerintah Arab Saudi memang tidak pernah memandang serius pemerintah Indonesia, apalagi dalam menangani tenaga kerjanya. Jadi jangan heran mereka tiba-tiba "lupa" ingatan ketika memberitahukan hukuman pancung terhadap Ruyati tetapi selalu ingat bangsa ini jika musim haji berlangsung.
Beda jika kejadian eksekusi ini terjadi pada warga Amerika atau lebih dekat lagi Filipina. Saya yakin mereka akan selalu "ingat" untuk mengetuk pintu Kedutaan mereka dan berkata "Haloooooo, kami mau eksekusi warga anda, anda bisa tidak kemari untuk menemui dia......" dan dalam sekejap criiiinnnggg mereka ada di barisan paling depan berusaha sekuat tenaga melepaskan warganya dari hukuman tersebut sesalah apapun mereka.
Lihat saja setiap warga negara Australia yang tertangkap menyeludupkan narkoba di Bali. Mulai dari interogasi sampai ketok palu keputusan pengadilan, ada wakil Kedutaan yang duduk di barisan terdepan. Tidak hanya itu saja, mereka pun membayar pengacara top Indonesia agar warga negaranya mendapatkan keadilan dan kalau perlu dibebaskan dari hukuman.
Saya jadi bertanya apakah Ruyati, pada saat interogasi, ketika pengadilan sampai kemudian keputusan hukam mati itu keluar, dia dampingi oleh pengacara handal atau paling tidak oleh diplomat Indonesia atau paling jelek lah petugas yang mengurus TKI di Arag Saudi? Apakah ketika dia diinterogasi, dia memang jujur mengakui bahwa dia membunuh majikan perempuannya atau karena ditekan atau paling jelek disiksa ketika dia mengakuinya? Kita tidak pernah tahu, sehingga saya paling tidak terima kalau ada mengatakan bahwa resiko kerja di Arab Saudi adalah siap menghadapi hukum disana. Nanti dulu jika hukum Islam dijalankan dengan benar, dengan mengetahui latar belakang kenapa dia membunuh, masa semudah itu seorang hakim menjatuhkan hukuman pancung.
Bahkan Nabi Muhammad SAW tidak pernah menjatuhi hukuman potong tangan pada pencuri, karena Beliau selalu menanyakan alasan mengapa si pencuri itu mencuri. Jika alasannya untuk sekadar makan, maka Nabi Muhammad akan memberikan peringatan kepada si pencuri dan kepada tetangganya yang mampu karena membuat tetangganya yang miskin mencuri.
Kasus yang menimpa Ruyati adalah kebodohan kita semua, kebodohan pemerintah, kebodohan KBRI di Arab Saudi yang bisa-bisanya tidak tahu ada warga negaranya akan dieksekusi seharusnya mereka melayani warga negara termasuk TKI jemput bola dong datangin mereka , kebodohan rakyat yang selalu percaya janji-janji perbaikan nasib pemerintah dengan cara dikirim sebagai PRT tanpa keahlian yang akhirnya menjadi "budak" tidak jelas dan juga kebodohan saya yang tidak bisa berbuat apa-apa buat mereka hanya bisa mengecam, mengecam dan mengecam tetapi tak berani bertindak apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H