[caption id="attachment_115191" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi: Admin/ Shutterstock"][/caption] Akhirnya setelah sekian lama saya penasaran dengan Kota Serang, saya datang juga untuk sekedar berwisata ke Kota Serang.  Awalnya pesimis mau berwisata ke Serang, karena ketika riset di Internet informasi wisata kota Serang sangat minim, jika ada pun update terakhir pun tahun 2009.  Namun karena adik saya yang kebetulan ditugaskan di Cilegon oleh perusahaannya sudah memesankan kamar hotel plus dibayarin, mau nggak mau tekad saya untuk melihat Kota Serang jadi membara kembali. Jadi hari Sabtu dan Minggu kemarin saya menghabiskan liburan saya di Kota Serang.  Rencananya Sabtu, saya akan mengunjungin Banten Lama, dimana ada situs-situs peninggalan Kesultanan Banten yaitu Mesjid Agung, Keraton Sorosuwan, Keraton Kaibon dan juga ada Musium Banten Lama.  Kebetulan saya tipe orang yang suka dengan segala sesuatu yang bernilai sejarah. Pertama yang saya kunjungi adalah Mesjid Agung Banten Lama.  Mesjid ini sebenarnya kompleks yang terdiri dari Mesjid, Pemakaman Sultan-Sultan Banten dan Menara Mesjid.  Mesjidnya sendiri nampak indah dengan bangunan yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu.  Sayangnya keadaan Mesjid yang kotor dengan sampah agak menurunkan semangat saya untuk berkeliling, ditambah lagi ramainya kunjungan orang untuk berziarah ke makam Sultan dan keluarga Kesultanan Banten.  Belum lagi bangunan tambahan yang tidak sesuai membuat Mesjid tersebut terlihat sumpek dan tidak teratur. Untungnya saya mencoba-coba untuk sekedar melongo kepala saya di jendela ruangan dalam Mesjid, sehingga saya diperbolehkan oleh penjaga Mesjid untuk masuk ke ruang dalam yang sebenarnya terkunci pada saat yang berkunjung untuk dibersihkan.  Penjaga Mesjid pun banyak bercerita tentang bangunan Mesjid dan makna-makna semiotik arsitekturnya.  Lucunya kami sama-sama menyesali kotornya lingkungan Mesjid bahkan Penjaga Mesjid bercerita bahwa dia baru saja mengusir Ibu-Ibu yang menjemur pakaian di halaman Mesjid. Lalu saya sempatkan juga melongo sebentar ke makan Sultan dan keluarganya yang penuh dikunjungi para penziarah yang berzikir.  Saya teruskan berkeliling Mesjid Agung, saya menemukan sebuah museum kecil yang terkunci.  Saya minta ijin untuk melihat museum tersebut kepada beberapa penjaganya, dengan senang hati oleh mereka diperbolehkan bahkan saya dapat guide gratis yang menjelaskan isi museum kecil tersebut. Museum itu kebanyakan berisi senjata tajam hasil dari penggalian dan juga koleksi masyarakat Banten yang diistilahkan oleh mereka "sudah tidak sanggup menjaganya" terdiri dari keris, mata tombak, golok, pedang Portugis dan samurai.  Disini "guide gratis" saya menjelaskan bahwa orang Banten tidak punya senjata ciri khas mereka seperti keris dari Jawa atau badik dari Bugis, namun mereka biasanya menggunakan golok. Yang paling berharga menurut saya adalah dua buah Al Qur'an tulis tangan yang usianya sudah 400 tahun.  Sayangnya al Qur'an ini tampak berdebu dan kurang terawat. Saya lanjutkan perjalanan saya menuju Museum Banten Lama.  Untuk masuk ke Museum cukup membayar Rp. 1000.  Namun yang saya dapatkan nilai melebihi 1000 rupiah.  Kebetulan juga saya mendapat "guide gratis" yaitu seorang petugas museum yang dengan sukarelanya menjelaskan tentang latar belakang semua benda koleksi Museum tersebut. Disinilah saya sadar ternyata Banten sejak ratusan tahun yang lalu sudah berhubungan dengan bangsa lain, mulai dari bangsa Cina, Jepang sampai dengan Portugis.  Sehingga budaya mereka seperti budaya "melting pot".  Sehingga barang-barang koleksi Museum, mulai dari gerabah sampai batu nisan dipengaruhi oleh budaya-budaya asing.  Bahkan menurut "guide gratis" hampir tidak ada ciri khas khusus Banten, bahkan Sultan-nya saja berasal dari Cirebon bukan orang Banten asli. Setelah puas di Museum, saya lanjutkan ke puing-puing Keraton Sorosuwan.  Karena Keraton ini jarang dikunjungi maka gerbang keraton ini selalu dikunci dan kuncinya disimpan oleh Museum Banten Lama.  Jadilah saya minta ijin dulu dan langsung diberi kuncinya oleh petugas Museum sehingga harus saya sendiri membuka gerbang Keraton Sorosuwan. Jangan anda bayangkan Keraton Sorosuwan seperti Keraton di Yogyakarta atau Surakarta.  Keraton Sorosuwan tinggal puing-puingnya saja akibat penghancuran yang diperintahkan oleh Dendles pada abad ke 19 akibat kerasnya penolakan Kesultanan Banten pada penjajahan Belanda.  Saya hanya bisa menyaksikan pondasi bekas Keraton Sorosuwan yang kono kabarnya bangunan tersebut megah dengan arsitektur campuran Eropa, Jawa dan Cina.  Sayangnya sampai sekarang pihak Museum Banten Lama hanya bisa mereka-reka bentuk bangunan dan denah kompleks Keraton seluas 3 hektar tersebut karena minimnya dokumentasi dan riset.  Saya sendiri tidak yakin dengan alasan tersebut, karena Yogyakarta sendiri bisa membangun kembali Keraton Taman Sari, walaupun baru berupa pemandiannya.  Kemungkinan besar karena minimnya dana untuk riset dan penggalian sehingga Keraton Sorosuwan hanya menjadi "bekas Keraton Sorosuwan". Setelah keliling di ketiga tempat tersebut, atas saran Tukang Ojek, saya pergi ke Tirta Ardi.  Tirta Ardi adalah sebuah Resevoir atau penampungan air yang dibangun atas permintaan salah seorang Sultan Banten untuk menampung air tawar yang akan disuplai ke Keraton Sorosuwan melalui pipa-pipa tanah liat.  Saya membayangkan akan melihat situs danau buatan karena menurut Museum Banten Lama, di Tirta Ardi konon terdapat Istana tempat Sultan dan keluarganya berwisata.  Bahkan konon tempat Sultan dan istri-istrinya bersenang-senang. Ternyata bayangan saya jauh sekali dari kenyataan.  Memang benar bahwa Tirta Ardi adalah proyek luar biasa pada jamannya.  Konon di dasar danau dilapisi batu bata.  Selain itu airnya tidak pernah surut atau meluap, bukti bahwa danau buatan ini diperhitungkan pembangunannya dengan baik.  Bahkan ada pulau taman di tengah danau sehingga dari segi keindahan danau ini amat diperhitungkan.  Sayangnya danau ini kotor, banyak sampah, airnya coklat dengan hiasan sampah mengapung dan juga banyak orang pacaran sehingga agak sungkan untuk jalan-jalan menikmati pemandangan. Setelah itu saya mengajak Tukang Ojek untuk mengantarkan saya mencari makanan khas Kota Banten yang sudah saya riset di Internet.  Mau tahu jawaban Tukang Ojek "Mbak disini makanan khasnya Nasi Padang."  Baru kali ini saya terkejut ketika berkunjung ke sebuah tempat, dimana mereka punya sejarah yang panjang namun penduduknya tidak tahu makanan khas milik mereka sendiri.  Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke hotel di Kota Serang.  Sepanjang  jalan saya menyadari bahwa memang kota ini penuh dengan restoran Nasi Padang baik besar maupun kecil.  Sedangkan plang yang menjual makanan khas mereka satu pun tidak ada.  Benar juga kata tukang ojek saya, padahal dia tahu lho pengertian makanan khas karena dia juga bilang bahwa orang Banten tidak punya mpek-mpek seperti orang Palembang, disini yang banyak adalah rumah makan Padang. Bahkan di Hotel Bintang Empat tempat saya menginap pun tidak tersedia makanan khas Banten, seperti ketika saya berkunjung ke Bali, Surabaya, Yogyakarta dan Semarang.  Bahkan ketika saya di Lampung, hotel tempat saya menginap menawarkan Mpek-Mpek khas Lampung yang katanya berbeda dari Mpek-Mpek Palembang. Malamnya saya berpikir bahwa Banten khususnya Serang memang bukan kota bagi yang ingin mencari ciri khas atau keunikan, karena masyarakatnya sendiri sejak dulu sudah terasimilasi dengan budaya lain.  Ditambah lagi hilangnya budaya keraton di Banten akibat dihancurkan oleh Belanda, sehingga Banten seperti kehilangan jati diri mereka sendiri.  Bahkan orang-orang Banten berbahasa Indonesia layaknya orang Jakarta tanpa ada aksen tertentu, sekalinya mereka Bahasa Daerah yang keluar Bahasa Sunda. Keesokan harinya ketika saya menuju ke Jakarta, saya akhirnya bisa menemukan ciri khas Kota Serang.  Langsung saja saya bb adik saya yang kerja di Cilegon. "Dek, kota Serang itu ciri khasnya cuma satu wajahnya Ratu Atut Chosiyah.  Gurbernur ini narsis banget yah.  Setiap sudut Serang pasti ada baliho atau spanduk yg ada nama dan wajahnya.  Bahkan spanduk hidup sehat ada nama dan mukanya lho.  Di Mesjid Agung Banten Lama yg kotornya minta ampun aja ada baliho dia cling dan bersih.  Bahkan di Anyer dan Carita jg ada balihonya juga.  Jadi memang Ratu Atut ini maskotnya Serang.  Kontras banget yah Dek.  Mendingan biaya bikin spanduk dan baliho dibuat bersihin Kota Serang dan Banten Lama." Dan adik saya cuma membalas "HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H