Minggu lalu saya sedang kumat rajinnya untuk membersihkan dan mengantur kembali dokumen-dokumen penting milik saya. Kembali saya buka-buka ijazah saya dari TK sampai Universitas, ijazah kursus, raport, Surat Kenal Lahir sampai ada sertifikat kursus dan seminar yang pernah saya ikuti.
Saat itu saya baru sadar, lha akte saya mana? Saya mulai membongkar semua surat-surat yang ada di laci lemari. Tetap selembar surat pengakuan awal negara akan keberadaan saya tersebut tidak ditemukan. Saya bingung, kok bisa surat sepenting itu gak ada dan baru sadar sekarang.
Karena merasa "bersalah" karena tidak mempunyai akte saya memutuskan akan cuti dari kantor agar saya bisa mengurus akte. Tak segan saya bertanya kepada seorang teman yang baru punya anak bagaimana caranya mengurus akte. Ternyata agak rumit juga yah mengurus akte, pertama adalah membawa surat kenal lahir ke kelurahan untuk mengurus surat pengantar ke Dinas Kependudukan untuk dibuatkan Akte. Untuk semua itu, menugurus akte memerlukan biaya Rp. 150.000, untuk bayi yang baru lahir. Teman saya memperkirakan kalau untuk saya karena umur saya 30 tahun lebih maka akan lebih mahal karena ditambah dengan denda. Ya sudah lah tidak masalah yang penting secarik kertas pengakuan diri saya sebagai warga negara Indonesia bisa saya pegang.
Begitu Bapak saya datang, saya menanyakan keberadaan Akte saya. Mungkin saja Akte saya tertinggal di rumah kami di Kalimantan. Ternyata Bapak saya bercerita, ketika saya lahir pada tahun 70-an, akte bukan lah hal yang penting seperti sekarang. Cukuplah Surat Kenal Lahir dari Rumah Sakit yang ditandatangani oleh pihak Rumah Sakit dan dua orang saksi dalam hal ini adalah dua orang rekan kerja Bapak saya di Cilegon.
Mungkin banyak yang heran kenapa saya bisa sekolah tanpa akte kelahiran yang sah sampai saya bisa kuliah di Universitas Negeri, karena biasanya akte kelahiran adalah syarat wajib untuk masuk sekolah. Begini kebetulan saya sekolah yang merupakan Yayasan yang dibiayai oleh perusahaan BUMN milik PERTAMINA tempat Ibu saya bekerja. Sehingga sekolah merupakan fasilitas perusahaan untuk anak karyawan. Jadi setiap anak karyawan yang sudah cukup umurnya, tanpa atau belum lengkap dokumen pendaftaran sekolahnya berhak untuk sekolah tersebut. Mungkin karena itulah orang tua saya tidak menyadari pentingnya akte kelahiran.
Saya jadi ingat Serial Jepang berjudul "Shotgun Married", disitu diperlihatkan bagaimana pemerintah Jepang amat memperhatikan setiap warganya bahkan yang masih di dalam perut sekalipun. Setiap Ibu yang hamil didaftarkan oleh pemerintah, lalu mereka diberikan buku agar Ibu hamil dan dokter bisa mencatatkan perkembangan kehamilan. Begitu lahir langsung dicatatkan ke Dinas Kependudukan tanpa harus menghadapi birokrasi yang berlebihan.
Lain lagi pengalaman seorang tetangga saya yang melahirkan anak di Belanda pada tahun 90-an. Karena Belanda menganut paham Ius Soli yang kira-kira artinya setiap anak yang lahir di tanah Belanda maka akan menjadi Warga Negara Belanda walaupun orang tuanya bukan warga negara Belanda, maka begitu anaknya lahir pihak Rumah Sakit dan Petugas Dinas Kependudukan sudah menyiapkan akte tanpa orang tua harus sibuk-sibuk mengurusnya. Ini mungkin berhubungan dengan tunjangan anak yang diberikan Pemerintah Belanda setiap bulannya.
Seandainya saya lahir negera-negara tersebut orang tua saya gak perlu menunda membuat akte buat saya yang kemudian hak dasar itu terlupakan sampai lebih dari 30 tahun.....hiks.....
Dengan ke-parno-an saya terhadap birokrasi, sampai saat ini saya belum mengurus Akte Kelahiran saya. Mungkin bulan Juni akan saya urus, menunggu cuti. Namun yang masih jadi pertanyaan di benak saya sekarang sebenarnya bagaimana sih mengurus akte?? Berapa biaya resminya?? Bisa tolong jelaskan pada saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H