Saya lahir tahun 1969, 4 (empat) tahun setelah 1965, tahun penanda sejarah dinamika Bangsa Indonesia. Sejak saya bersekolah hingga masuk kuliah jurusan PMP-KN di IKIP Jakarta (sekarang jurusan PKN - Universitas Negeri Jakarta), saya hanya mengenal Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia. Seiring perjalanan hidup, terjadi pula pergulatan fikiran, apakah benar secara agama Islam saya menerima Pancasila sebagai ideologi, apakah benar Pancasila itu sakti, dan apakah benar Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang harus diyakini sebagai warga negara Indonesia ?
Saya sendiri tidak terlalu mengagungkan Pancasila sebagaimana tafsir Orde Baru, bahwa Pancasila adalah sakti. Tidak, Pancasila tidak sakti. Namun Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, sumber dari segala sumber hukum, dan dasar negara, adalah benar. Kemungkinan 1 Oktober dinamakan Hari Kesaktian Pancasila adalah berdasarkan pemahaman orang Jawa yang memandang secara bathiniyah bahwa Pancasila memiliki kesaktian disebabkan pancaran aura dari jiwa dan makna Pancasila itu sendiri.
Namun sekarang ini, menurut saya Pancasila memang benar-benar tidak sakti. Bukan karena atas dasar keyakinan agama bahwa tidak diperbolehkan mengagungkan sesuatu melebihi Yang Maha Kuasa, melainkan apa yang terjadi pada bangsa dan negara sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang, masih belum mewujudkan suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan falsafah Pancasila. Bangsa Indonesia yang baru 70 tahun merdeka memang masih dalam tahap pergulatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih tertatih untuk naik ke tangga kemajuan peradaban dari satu tahap ke tahap berikutnya.Â
Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agusutus 1945, terus-menerus terjadi pergulatan antar para elit bangsa. Para elit bangsa melalui partai-partai politik saling bersaing, bersikut, memperebutkan kepentingan masing-masing. Melalui Maklumat No. X tahun 1945 yang dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945, sehingga sering disebut juga sebagai Maklumat 3 November 1945, mendorong pembentukan partai-partai politik dan pada tanggal 14 November 1945 diangkat Soetan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Mulanya tujuan diangkatnya perdana menteri adalah untuk membagi tugas mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara Soekarno, M. Hatta, dan Soetan Sjahrir. Akan tetapi selanjutnya yang terjadi adalah era pemerintahan parlementer di Indonesia. Padahal Indonesia dalam UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensial (UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 : Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar).
Sehingga pada akhirnya selama kurang lebih 14 tahun (14 November 1945 - 5 Juli 1959) terjadi bongkar pasang pemerintahan di Indonesia. Selain karena faktor perjuangan mempertahankan kemerdekaan, masa itu ditandai juga dengan terjadinya gonta-ganti perdana menteri dan kabinet yang berakibat program pembangunan tidak berjalan. Sampai 1965, Indonesia masih berkutat dengan konflik dalam negeri. Masa demokrasi terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966) ini mulai terjadi benturan dengan berbagai kepentingan dari 2 kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat (blok Barat) dan Uni Soviet + China (blok Timur). Akhirnya Soekarno yang lebih condong ke blok Timur pun terjungkal oleh peristiwa 30 September.
Indonesia meluangkan periode emas kemerdekaan dari tahun 1950 hingga 1965. Pancasila sebagai dasar negara tidak diterapkan sebagai visi pembangunan. Indonesia pun menyimpang pada periode akhir Orde Baru 1992 - 1997. Pada masa periode ini Pancasila disalah gunakan. Pancasila semata menjadi penutup kesalahan. Di titik inilah mulai terjadi koreksi terhadap Pancasila itu sendiri. Apakah Pancasila kemudian menjadi tidak menarik lagi sebagai ideologi ? Apalagi dengan semakin berkembang cepatnya kalangan Islam kelompok tertentu dengan tawaran ideologi Islam yang lebih menyentuh sentimen keimanan. Tidak ketinggalan pula perkembangan teknologi yang memunculkan gaya hidup yang lebih vulgar, berbeda, dan disatu sisi berani menentang dominasi agama. Misalnya dengan isu LGBT.
Lalu terakhir ini, sekali lagi berkaitan dengan peristiwa 30 September/PKI, yang kemudian berhasil menjadi hanya peristiwa 30 September. Ideologi kiri, yang erat dikaitkan dengan sikap revolusioner, memihak kaum bawah, progresif, dan juga memiliki nilai jual akademik. Maka, bagaimana dengan Pancasila ? Pancasila tetap sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang sah, itu pasti ! Akan tetapi, bila kondisi bangsa dan negara sedang sakit seperti sekarang ini, jangan harap Pancasila akan diingat, apalagi dibutuhkan.
Oleh karena itu, sekarang dan juga seterusnya, menurut saya tidak tepat mengungkit-ungkit peristiwa 1965 secara terus-menerus dan berlebihan. Mempertimbangkan bahwa akan ada juga sikap yang sebaliknya dari kelompok yang berlawanan, dan itu berarti membuat bangsa ini semakin terbenam oleh hiruk-pikuk ulah bangsanya sendiri. Mungkin ada baiknya mengutip semboyan pemerintahan Jokowi, yaitu "kerja, kerja, kerja", karena memang itulah yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Bekerja untuk menyambung hidup diri dan keluarga, bekerja untuk menabung di masa depan, dan bekerja untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Bila itu terjadi, visi misi Pancasila pun akan mudah diwujudkan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H