Ibu saya lahir, tumbuh, dan besar, di masa peralihan sejarah Indonesia mulai dari masa penjajahan Jepang, kemerdekaan, hingga pergantian dari orde lama ke orde baru, lalu sekarang ini orde reformasi, alhamdulillah ibu saya masih sehat menemani cucu-cucunya.
Meski hubungan saya dengan ibu tidak terlalu dekat dibanding dengan almarhum ayah, namun bagi saya ibu adalah orang yang sangat spesial dalam kehidupan saya. Ada banyak momen penting dalam hidup saya yang tidak bisa dilepaskan dari peran ibu. Yang pada akhirnya mempengaruhi dan merubah sekaligus menyelamatkan arah hidup saya.
Pertama sekali adalah ketika saya mulai belajar perkalian, ibu menuliskan daftar perkalian dari 1 sampai 10, kemudian memberikannya kepada saya, yang lalu saya hafal dan membekas sampai sekarang.
Kedua, ketika di tahun 80-an tumbuh gerakan pemakaian jilbab di kalangan pelajar di sekolah negeri. Saya yang waktu itu duduk di kelas 2 smp ingin ikut pakai jilbab, namun ketika mengutarakan niat itu kepada ibu, ibu malah berpendapat sebaliknya. Ibu bilang apakah saya sudah siap dengan berpakaian jilbab ? Saya hanya terdiam, tidak menjawab, apalagi mendebat yang seperti biasanya saya lakukan.
Saya hanya merenungkan kembali dan mencernanya dengan baik, hingga  hari ini. Memang benar, berjilbab termasuk syari'at Islam. Namun, dibalik syari'at itu terdapat hikmah yang dalam. Termasuk di dalamnya sebuah pertanyaan apakah seorang yang memakai jilbab itu sudah pasti dianggap telah memenuhi syari'at Islam ? Sementara kaidah ahlaq dan keilmuan masih belum memadai ? Belum lagi pengalaman hidup yang membentuk kepribadian seseorang turut mempengaruhi pola pikir dan sikapnya ?
Saya akhirnya memahami semuanya. Ibu saya ternyata adalah orang yang bijaksana. Saya merasakan ketika akhirnya benar-benar memakai jilbab mulai kelas 2 SMA hingga sekarang, harus belajar banyak lagi tentang Islam yang sesungguhnya, yang bukan versi saya, kami, dia, ataupun mereka.
Ketiga, pengalaman berikutnya saat saya mengikuti sebuah LDK "rahasia" HMI MPO. HMI MPO adalah sebutan untuk aktivisi HMI yang menolak azas tunggal Pancasila. Di tahun 1990-an, gerakan penolakan terhadap azas tunggal Pancasila terasa begitu heroik. Karena selain dianggap sebagai bentuk identitas kaum islam politik juga untuk menunjukkan pembangkangan terhadap kekuasaan Orde Baru pada masa itu.
HMI yang waktu itu terbelah dua, satu mendukung azas tunggal Pancasila dan disebut sebagai HMI Dipo, karena bermarkas di jalan Diponegoro, sekretariat HMI, dan yang satunya lagi HMI MPO atau HMI Majelis Penyelamat Organisasi yang bermarkas di jalan Cilosari. Meski terletak di satu kawasan yang sama, yaitu Menteng, antara aktivisi HMI Dipo dan MPO tidaklah akur. Yang jelas HMI MPO bersikap radikal dan bergerak dalan suatu jaringan rahasia, kelompok sel-sel dakwah di kampus-kampus.
Saya yang waktu itu cuma tergerak ingin jadi aktivis, malah "terjebak" dalam suatu kegiatan yang suasananya berupa "Cuci otak" berisi doktrin-doktrin, tidak hanya anti pemerintah, tetapi juga anti paham-paham lain. LDK yang (kalau tidak salah) berlangsung selama 3 hari itu, terasa bagai neraka bagi saya dan teman-teman dari satu jurusan kuliah. Maklum kami berasal dari jurusan PMP-KN IKIP Negeri Jakarta, jurusan yang mengajarkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber nilai dan norma berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya yang mulanya merasa mendapat suasana baru, mulai merasa "mual" dan "pusing" dengan segala materi yang disampaikan para pembicara. Merasa ada yang tidak beres, saya pun merumuskan kembali apa arti dari hidup ini, apa arti keimanan, apa arti Islam, apa arti berbangsa dan bernegara, dan sebagainya. Semua pertanyaan itu saling menumpuk dan saling menghantam satu sama lain tanpa ada jawaban yang logis. Hingga di hari terakhir, tiba-tiba saja, di pagi hari, saya mendapat petunjuk yang luar biasa, kalau kata orang beriman yang saya dapatkan adalah berupa "wahyu atau petunjuk" dari Illahi Robbi.
Saya yang waktu itu hampir "bergeser pikirannya", tiba-tiba diperlihatkan wajah ibu saya. Wajah yang lurus dan bersih, dan sudah pasti matang oleh pengalaman hidup. Wajah yang teduh seteduh dakwah Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w., seakan menegur saya bahwa tidak layak jika seusai LDK nanti saya merasa lebih sholihah dari ibu. Saya yang baru hidup seumur jagung, sangatlah tidak sebanding dengan ibu yang telah beribadah berlipat-lipat kali dalam hidupnya.
Saya akhirnya memutuskan untuk berkata tidak pada semua yang telah didoktrinkan. Saya ingin kembali kepada jalan yang lurus, yang sebenarnya, yang berupa proses pembelajaran kehidupan secara cerdas (hikmah) dan bermanfaat bagi sesama. Saya tidak ingin kembali ke dunia nyata sebagai "orang aneh" yang berbeda dari ibu saya dan lalu menunjuk diri kepada ibu saya bahwa saya lebih Islami daripada beliau. Saya berpendapat "berbeda" tidaklah harus diartikan secara sepihak, melainkan harus melalui uji waktu kebenaran, yang meski lama namun yang akan membuktikan benar tapi mudharat atau benar dan bermanfaat.
Sebagai penutup, kisah tentang Ibu dan seorang Ibu tidaklah ada habisnya. Ibu sepanjang jalan dan sepanjang kenangan tetaplah sebagai doa abadi hingga akhir zaman. Terima kasih Ibu, atas segala hikmah yang telah engkau sampaikan dalam diam dan kata-katamu, melahirkan, membesarkan, dan mendidik anakmu. Selamat Hari Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H