“Tetapi jangan lupa, dia kan punya keluarga juga. Apakah keluarganya nanti akan menerimamu menjadi calon istrinya ?” Imas menimpali.
“Aku tidak tahu itu, entah bagaimana nanti saja,” aku menjawab sebisaku.
“Maaf, bukannya kami meragukan ceritamu. Tetapi…….kita sebagai pembantu harus tahu diri. Nanti bisa ditertawakan orang kalau ternyata kamu dibohongi oleh pacarmu,” mbak Iroh terasa terdengar pahit.
Lebih lanjut aku jadi memikirkan lebih dalam perkataan teman-teman. Benar juga, penerimaan yang seutuhnya dan sejujurnya tentang diriku di depan dia dan keluarganya adalah penting. Selain itu menjaga kehormatan diri meski aku hanya berstatus seorang pembantu adalah teramat penting.
Selesai pembicaraan itu, aku tidak bisa enak tidur dan makan. Aku menjadi tergugah untuk merubah nasib. Aku tidak ingin hidup terus sebagai pembantu. Aku menjadi gelisah dan terus memberontak mengeluarkan gugatan keadaan nasibku. Mengapa nasibku harus demikian buruk ? Mengapa orang lain tidak ?
Aku juga ingin hidup sederajat dengan majikanku. Meskipun banyak orang mengatakan bahwa semua manusia sebenarnya sama di depan Tuhan, namun pandangan mata orang akan berubah seketika begitu mengetahui status sebenarnya dariku. Aku berubah menjadi benci dengan statusku sebagai pembantu ! Aku tidak pernah bercita-cita menjadi pembantu !
Maka tiba-tiba saja amarah dan kebencianku akhirnya meledak di malam itu. Tahu-tahu aku menjadi sangat mudah tersinggung dan merasa teramat menyakitkan ketika ditegur oleh majikanku. Aku ditegur karena menerima telepon terlalu lama. Hati kecilku sebenarnya membenarkan teguran mereka. Karena memang siapa tahu ada orang yang ingin bicara penting dengan majikanku, tetapi karena aku terlalu lama memakai telepon, jadi yang terdengar hanyalah nada sibuk.
Namun tak urung sisi hatiku yang lain tidak menerima. Aku merasa dihantam oleh ketidak berdayaanku sebagai orang yang berstatus sebagai pembantu rumah tangga. Karena aku hanyalah seorang pembantu rumah tangga, maka aku tidak boleh menerima telepon selayaknya majikanku. Padahal mereka juga berlama-lama kalau menelepon.
Seorang pembantu tidak boleh bersikap menyamai majikannya ! Itu jelas ! Akhirnya aku pun pamit dari rumah majikanku. Aku meminta berhenti. Biar mereka pusing sendiri mencari penggantiku. Aku tidak perduli ! Aku ingin meraih masa depanku sendiri. Semoga menjadi lebih baik dari orang-orang yang berstatus sebagai majikan.
Esok paginya, selesai berkemas aku pun pulang ke rumah kakakku. Dalam perjalanan di dalam bis kota yang aku naiki, di kursi tepat di depanku, duduk dua orang ibu-ibu sedang asyik ngobrol. Suara mereka begitu keras sehingga hampir setiap huruf yang dikeluarkan, terdengar jelas di telingaku. Tampaknya mereka adalah wanita karir yang baru pulang kerja dari kantornya.
“Waduh, pusing benar kepalaku akhir-akhir ini. Pembantuku yang baru dua minggu kerja, sudah minta berhenti. Padahal aku nyarinya sudah susah, musti mengeluarkan banyak uang, eeeeh, malah begini hasilnya,” kata ibu yang duduk di samping jendela.