Aku mempunyai seorang adik perempuan. Fitri, demikian panggilannya. Dia masih duduk di kelas satu SMA Negeri. Sore hari itu aku diminta adikku untuk naik ke loteng kecil di atas dapur. Katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Sesampainya di sana, adikku langsung saja menangis. Aku tidak mengerti mengapa dia menangis. Aku pun berusaha menenangkan. Tangisnya sesaat berhenti, adikku mulai bercerita mengapa sore itu dia begitu sedih.
“Teh, Fitri tadi diajak oleh guru untuk ikut sebuah kegiatan. Fitri tidak diberitahu sebelumnya apa kegiatan yang harus diikuti. Tidak tahunya………,” adikku kembali menangis.
“Kegiatannya dimana ?” tanyaku curiga.
“Di ruang guru. Dari yang Fitri dengar dari bisik-bisik para guru, kegiatan itu bernama “Seminar Orang-orang Bodoh”, adikku kembali menangis.
Tentu saja aku kaget bercampur geram mendengar penuturan adikku. Memang aku sudah lama mengetahui kalau nilai-nilai ulangan harian adikku tidak memuaskan. Tetapi dengan cara mengadakan seminar seperti itu, apapun bentuk dan metodenya, berarti telah memvonis seseorang tanpa pembelaan.
“Kapan seminar itu diadakan ?” tanyaku menahan geram.
“Tadi pagi. Fitri malu sekali. Banyak orang yang melihat. Memang tidak hanya Fitri sendiri. Tetapi…….rasanya tidak tahan melihat pandangan mereka yang seperti menghina. Bahkan ada guru yang mengatakan kalau sudah bodoh dari sananya ya tetap saja bodoh,” Fitri pun menangis sesenggukan.
Aku tidak tahan lagi mendengar kata-kata adikku tadi. Mau rasanya saat itu juga aku mendatangi sekolahnya dan mengajukan protes. Tetapi akal sehatku berfikir lain. Aku malah seakan dihadapi oleh sebuah rezim yang tidak hanya akan menertawakan protesku, tetapi juga berbalik mengancam kelanjutan belajar adikku di sekolah itu.
Mau pindah ke sekolah lain ? Mana mungkin ? Kami bukan keluarga kaya. Ayah sudah setahun ini sakit-sakitan. Ibu juga hanya kerja menerima jahitan. Itupun kebanyakan pelanggannya adalah orang-orang tidak mampu juga. Jadi jasa yang dijual ibuku hanya sebatas pulang modal saja. Tidak merupakan untung. Malah terkadang harus nombok.
Aku lalu berfikir keras untuk menolong adikku. Aku tidak mau adikku teraniaya psikisnya seperti ini. Betapapun bodohnya dia. Tetapi……apakah para guru itu dewa yang mengetahui tingkat kebodohan seseorang sejak dini ? Aku menolak dengan keras vonis yang menyakitkan seperti yang dialami adikku itu.
“Sudahlah, sabar saja. Jika nanti ada seminar semacam itu lagi, biar kakak tulis di Koran. Supaya orang-orang tahu kejahatan mereka,” kataku menghibur.