“Tapi……setahu yang aku dengar, katanya kalau tidak sesuai dengan sunnah Nabi itu berarti bid’ah,” aku bertambah semangat.
“Aku juga sering mendengar dan membaca orang yang berpaham demikian,” Ray mulai menekan kata-katanya.
“Lalu ?” aku menjadi semakin ingin tahu pandangannya.
“Lalu ? Buat apa diperdebatkan lagi ? Ketika Nabi hidup, perbedaan pandangan sudah ada. Apalagi sejak beliau meninggal. Itu sejak abad ke enam Masehi yang lalu. Sekarang abad duapuluh satu. Masa masalah yang diperdebatkan hanya itu ke itu saja ?” Ray mengutarakan pandangannya.
Aku terkesima mendengar penuturan Ray. Tidak aku sangka ia memiliki pandangan yang sangat luas. Tetapi aku masih belum puas. Sebab aku juga tidak mau ada beban jika memperkenalkan Ray yang ternyata punya pandangan berbeda dari keluargaku.
“Di keluargaku tidak memakai tahlilan, doa Qunut saat sholat Shubuh, ritual membaca Yasin setiap malam Jum’at, sholat Nisfu Sya’ban, dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir Jailani,” aku membeberkan beberapa pandangan keluargaku.
“Tidak mengapa. Aku yakin setiap perbedaan mempunyai hikmah,” Ray menenangkan aku.
“Apakah di keluargamu melakukan hal yang demikian ?” tanyaku ingin tahu.
“Tentu saja,” Ray menjawab datar.
Usai pembicaraan itu, kami pun pulang dengan suasana yang berbeda dari perginya. Kami seakan terbebani oleh serangkaian dosa warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dosa warisan tentang perbedaan pandangan dalam beribadah.
Esoknya, aku mendapat telepon dari Ray kalau tidak bisa lagi menemani ngabuburit. Sebab ada keperluan keluarga yang harus diurusnya. Kemudian dilanjutkan dengan acara mudik ke kampung halamannya di Semarang. Ray juga harus mendampingi keluarganya.