“Yeee, gua gini-gini puasa tahu !” balas seorang bapak yang merasa disindir.
“Iya, puasanya pol, tapi korupsi jalan terus,” cetus seorang bapak pedagang minuman keliling dalam kereta.
“Heh, sembarangan ngomong ! Elu juga kalo puasa gini gak boleh dagang tahu ! Dagangan elu itu ngajakin orang jebol puasa tahu !” kata bapak itu lagi membela diri.
“Iddiiiiih, yang penting halal ! Lagi salah sendiri kenapa puasanya bisa jebol ?” pedagang minuman itu mencoba bertahan.
“Orang-orang kok pada ribut soal puasa dan lebaran ? Lebarannya kan masih lama ? Puasanya juga paling rame sampe dua mingguan doang. Sudah gitu Terawehnya juga yang rame cuma satu minggu pertama. Apalagi kalo udah deket lebaran, cuma tinggal sejoli, imam dan makmum merbot masjid,” cetus seorang anak muda penjual Koran.
“Ibu-ibu juga paling kalo Teraweh kerjanya cuma ngerumpiin orang,” tambah seorang pengemis yang kebetulan lewat.
Aku sebenarnya geli mendengar perdebatan mereka. Namun karena stasiun tujuan sudah dekat, aku tidak mendengar lagi kelanjutan debat kusir tersebut. Aku sendiri merasa terhibur dengan ulah orang-orang itu. Yah……inilah uniknya manusia. Penuh dinamika. Begitu pula suasana di rumah Mbah Putri. Penuh gurau, debat kusir, diselingi makan dan minum pembuka puasa.
Sepulangnya dari rumah Mbah Putri, aku dan Angga naik Kopaja. Sedangkan Agung naik vespa bertiga bersama papah dan mamah. Selama perjalanan aku merenung hari-hariku yang kemarin. Ada sejuta kegundahan tentang rasa keislamanku. Angga mengetahui itu.
“Ga, mana yang lebih baik, mengikuti waktu Mekkah atau pemerintah ya ?” tiba-tiba aku menemukan pertanyaan aneh.
“Waktu televisi aja, kak,” jawab Angga sekenanya.
“Itu bukan jawaban, Ga,” kataku menegur.