Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN, Angka, dan Siaga Perang

17 April 2014   07:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

UN tingkat SMA dan SMK serta sekolah dalam lingkungan kementerian agama telah selesai. Sebentar lagi UN untuk tingkat SMP akan dilangsungkan. Segala hiruk pikuk pelaksanaan UN telah menjadi semacam ritual wajib setiap tahunnya. Ada kegiatan pendalaman materi di sekolah, para siswa berlomba mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, guru-guru menyiapkan materi yang diperkirakan keluar dalam soal UN, pembentukan panitia dari pusat hingga sekolah terpencil. Itu masih belum cukup, dikerahkan pula bantuan Kepolisian dan TNI untuk mengawal soal UN hingga menjaga pelaksanaan UN di sekolah.

Sayangnya, itu juga belum semuanya. Masih ada kriteria penilaian kelulusan dengan aneka rumus, dan akhirnya tayangan demi tayangan mengenai pelaksanaan UN yang digambarkan khusus kecurangan-kecurangannya saja. Lalu, pasca UN masyarakat kemudian akan diperlihatkan atraksi para siswa yang lulus UN dan berpesta di jalan bergerombol naik motor dan corat-coret baju. Selesai sudah.

Sedemikian itukah arti pendidikan ? Bagaimana dengan fenomena cabe-cabean, gank motor, bullying, pergaulan bebas, tawuran, dan berikutnya barisan sarjana pengangguran ? Saya tidak akan menampilkan hasil tes PISA para siswa Indonesia. Itu sudah lewat. Hanya saja, saya sebagai guru, tentu tidak rela capek-capek mengajar namun hasilnya hanya mendidik manusia tanpa rupa, tanpa jiwa, dan tanpa kata. Alias tidak berkarakter.

Mendidik karakter itu penting. Namun tidak semata memformalkannya menjadi sebuah kurikulum. Bila sudah menjadi sebuah kurikulum, maka hanya proyek yang terlihat. Pendidikan karakter harusnya mengukuhkan kembali harkat dan martabat siswa sebagai manusia dan menjadikan sekolah sebagai tempat untuk mendidik manusia masa depan. Maka pendidikan karakter bisa dimulai dari hal yang bersifat mendasar, seperti :

- menghargai perbedaan individual setiap siswa, termasuk perbedaan berlatar fisik, sosial, ekonomi, dan budaya.

- menghargai perbedaan pendapat para siswa,  meskipun pendapatnya standar, baik karena baru pertama kali berpendapat di dalam kelas ataupun semata sebagai bentuk protes.

- menghargai hasil karya siswa, meskipun hasil karyanya sederhana, dianggap tidak bermutu, ataupun remeh/ tidak berarti.

- menghargai pilihan siswa, meskipun pilihannya aneh dan salah. Pilihan disini tidak termasuk pilihan dalam soal berbentuk pilihan ganda.

- menghargai kemampuan akademik siswa, walaupun hanya dari satu segi dalam sebuah pelajaran.

Namun sekarang ini, apakah guru punya waktu untuk memperhatikan setiap siswanya ? Pertanyaannya mungkin bisa dipertajam, apakah guru punya kepedulian untuk memperhatikan setiap siswanya ? Lalu pertanyaan lanjutan, apakah dengan menjadi seorang guru, berarti sudah siap untuk mau, perduli, dan punya waktu untuk memperhatikan setiap siswanya ?

Mengapa ? Sangat diharapkan seseorang menjadi guru bukanlah karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Terlebih karena mengejar materi agar bisa cepat punya mobil, misalnya. Bisa juga disisi lain, berburu menjadi PNS agar karirnya jelas dan aman. Tentu, itu diharapkan tidak benar.  Masalahnya, menjadi guru sangat terbuka lebar, nyaris tanpa batasan formil, apalagi normatif. Untuk mendisiplinkan diri sendiri saja sulit, dan karenanya otomatis tidak mampu mendisiplinkan murid.

Mencari guru berkarakter sebenarnya tidak sulit.  Namun birokrasi seringkali malah menjadi penghambat tumbuhnya seorang guru yang berkarakter. Perangkat administrasi harus terlebih dahulu dipenuhi, baru bisa dapat penilaian bagus dari kepala sekolah. Perlu bertahun-tahun menjadi guru yunior sebelum dapat dianggap sejajar dengan guru senior. Berikutnya, status sekolah turut mempengaruhi ketimpangan guru yang berkualitas di setiap sekolah. Sehingga kalau tidak ada inovasi dan gebrakan positif dari kepala sekolah, sekolah yang jauh dari kantor dinas, akan sulit mendapat peringkat yang baik.

Siswa, guru, dan juga karyawan sekolah adalah manusia. Bagaimana menjadikan semuanya dalam satu sinergi yang baik, dan tidak mudah rapuh hanya karena adanya UN, adalah dengan mengembalikan hakikat sekolah sebagai tempat mendidik manusia masa depan. Manusia yang mampu bertanggungjawab dan perduli dengan kehidupan. Dan tidak sepenuhnya menghamba pada nilai.

Menjelang Pemilu Presiden, diharapkan semoga Presiden terpilih mampu mengangkat Menteri Pendidikan yang mau melanjutkan hal-hal yang baik dari Menteri yang sekarang, juga berani mereformasi hal-hal yang masih menjadi masalah di bidang pendidikan di Indonesia. Dan salah-satu yang perlu direformasi adalah tata nilai pendidikan yang tidak sekedar mengejar angka, namun mengukuhkan kembali harkat dan martabat siswa, guru, dan juga karyawan sekolah. Sehingga nantinya tidak perlu lagi pelaksanaan UN ditampilkan seperti negara dalam keadaan Siaga Perang. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun