Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dimana Tempat Aman untuk Anak Kita Bersekolah ?

27 April 2014   04:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimana tempat aman anak untuk sekolah di Indonesia ? Mulai dari TK sudah terkena kejahatan seksual. SD dianiaya guru. SMP tawuran. SMA/SMK tawuran + bullying. Kuliah tewas ditangan kakak senior. Tanpa bermaksud menuding kesemua pesantren, mungkin saja ketidak amanan di pesantren pun tidak kalah seramnya. Hanya saja kita tidak tahu seberapa besar dan seberapa berat tingkat kasus di bawah permukaan yang terjadi di pesantren.

Jikapun ada yang selamat bersekolah dari TK hingga kuliah, sudah pasti terkena stress bejibun karena harus bawa buku yang berat, pekerjaan rumah dan tugas yang menumpuk dalam satu hari yang sama, belum lagi drill ini itu untuk berbagai persiapan, mulai dari UTS, Ulangan Semester, Ulangan Kenaikan Kelas, dan Ujian Nasional.

Ketika kuliah, bisa saja bertemu dosen killer yang merasa lebih pintar dari Stephen Hawking, sehingga mahasiswanya dianggap tidak layak mendapat nilai A. Nilai B pun hanya untuk beberapa orang. Dosen tersebut tidak merasa bersalah bila "berhasil" memberi nilai TL untuk para mahasiswanya. Dan diantara para mahasiswa pun mulai terbiasa dengan intrik-intrik untuk mendapat perhatian dosen.

Setelah lulus  kuliah, apakah sudah tamat semua beban ? Masih belum ! Ada masa penungguan yang cukup lama untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan bisa sangat lama. Terlalu lama malah. Jika dikatakan Indonesia masih kekurangan perguruan tinggi, kenyataannya pengangguran dari lulusan perguruan tinggi mulai mendominasi.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah yang masih tergolong aman. Mau aman dunia akhirat bisa mencari di sekolah berlabel agama yang bukan pesantren. Meski begitu, dapat dipertanyakan apakah otak anak tidak terkena doktrin tertentu, apalagi dalam bentuk brain washing ?

Jika benar sudah tidak ada lagi tempat aman untuk anak kita bersekolah, lalu siapa yang harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah tersebut ? Apakah orang tua, guru, pengawas, dinas pendidikan tingkat kota maupun kabupaten hingga provinsi, Menteri Pendidikan, Presiden, ataukah juga anggota DPR ?

Sampai disini, apakah peran seperangkat aturan regulasi pendidikan sudah cukup ? Apakah kurikulum sudah benar-benar sesuai tujuannya ? Apakah mata pelajaran agama dan PKN sudah benar-benar diajarkan dengan baik ? Jika sudah, mengapa malapetaka demi malapetaka dunia pendidikan terus saja terjadi ?

Mungkinkah masalah pendidikan tidak sepenting masalah politik kenegaraan ? Apakah masalah pendidikan sudah cukup diselesaikan dengan anggaran 20 % dari APBN ? Ataukah sudah selesai hanya dengan pernyataan bahwa "ini adalah tanda-tanda datangnya Kiamat" ?

Jika demikian, jangan berharap akan ada generasi emas Indonesia di tahun 2020. Karena yang ada hanyalah generasi tidak berkarakter, generasi individualis, materialistis, liberalis, dan atheis. Lihat saja sekarang, seorang bocah Iqbal baru bisa diselamatkan setelah seorang perempuan yang sangat peduli kebetulan melihatnya kesakitan.

Bocah korban JIS baru jadi perhatian setelah 5 x mengalami kejahatan seksual, dan seorang William James Vahey bisa mengajar hingga 10 tahun di JIS padahal dia adalah seorang burunan FBI ! Dan yang terbaru Dimas Dikita Handoko harus tewas dihantam para seniornya, sementara keluarganya telah mengetahui adanya penganiayaan sejak lama.

Haruskah setiap menyantap makanan sambil menonton televisi yang terdengar adalah berita suram pendidikan ? Sementara media televisi pun seakan tidak perduli, apakah acara-acaranya memberikan pengaruh negatif ataukah tidak, terlebih kepada anak-anak.

Mengetahui sekian banyak korban dari dalam sekolah, lingkungan pendidikan yang seharusnya asah asih asuh, hati dan pikiran tidak lagi merasa miris. Melainkan menjadi geram, kemana semua para manusia yang menjadi pemimpin pendidikan di negeri ini ?

Seandainya para pahlawan dan pendiri negara mengetahui kondisi negeri yang dulu dibelanya sekarang ini, tentu mereka akan kecewa, sedih, dan marah. Karena bila dahulu orang yang disebut pemimpin adalah orang yang gagah berani menentang ketidak adilan, penganiayaan, kesewenang-wenangan, dan kejahatan, terhadap orang yang lemah; maka sekarang yang disebut pemimpin adalah orang yang berdiam diri, duduk di belakang meja, bekerja hanya sesuai Tupoksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun